Sunday, November 21, 2010

Boutique

Plasa Senayan adalah tempat aku menyembunyikan diri. Di sanalah aku berpaling dari kehidupan yang keras. Ada sebuah kafe di pojok yang kusuka. Aku senang di sana. Kafe Boutique.

Sore itu aku memesan bir --juga makanan kecil. Kukeluarkan laptop dan mulai mengetik. "Maafkan dosa-dosaku Tuhan. Dan maafkan pula dia."

Aku berhenti. Minum seteguk bir. Seorang perempuan memandangku dan mata kami bertemu. Ia memalingkan muka. Cantik juga. Siapa namanya? Pasti sedang menunggu seseorang. Usianya paling banyak 30. Perempuan itu membalik-balik sebuah majalah. Lalu tekun membaca. Aku kembali mengetik. "Engkau yang mengerti isi langit dan bumi. Semoga perbuatan kami diampuni."

Perempuan itu kembali memandangku. Sekali lagi mata kami bertemu. Ia tersenyum. Aku membalas senyumnya. Jarak kami cuma pelintasan jalan. Ia duduk di bawah tangga evalator. Ia berhenti membaca. Kini mengeluarkan buku dan pulpen. Ia mencoret-coret di buku itu. Lalu kembali membaca.

Karena memperhatikan caranya membaca, aku melihat cincin melingkar di jarinya. Jari-jari yang serasi dengan lengan, tubuh dan wajahnya. Ia memang cantik. Wajahnya lembut. Aku tak begitu yakin, apakah itu cincin biasa atau cincin kawin. Mungkin cincin kawin.

Buku apa itu? Jari-jarinya menutupi huruf-huruf pertama. Aku hanya dapat melihat kata-kata "SA", di ujung buku. Mungkin yang dibacanya buku Kafka. Rasanya dugaanku benar, karena aku masih ingat cover buku Kafka. Jadi ia membaca Metamorposa. Aneh juga. Di tengah lalu-lalang benda dan barang, Kafka hadir di sini. Aku mengetik lagi. "Hidup jadi sumpek tanpa hiburan. Semua orang berhak menghibur diri."

Aku berhenti.
Ke mana dia? Tas dan bukunya masih di sana. Mungkin dia ke toilet di pojok. Aku memperhatikan tas itu dengan seksama: sebuah tas hitam yang kecil. Aku berpikir, ceroboh sekali. Bagaimana kalau seseorang mengambil tas itu? Benar ini plasa yang besar. Banyak satpam. Tapi meninggalkan tas tetap kecerobohan.

Aku bangkit dan berjalan melewati mejanya. Membeli koran sore di seberang kafe. Kembali ke mejaku lagi, aku melihat buku yang dibacanya. Tidak salah: Kafka.

Tak lama kemudian dia datang. Langkahnya gemulai. Ia memakai blazer hitam dan tubuhnya seksi sekali. Rambutnya digerai sampai bahu. Ia kini lewat persis di depanku. Aku mencium aroma parfum yang lembut. Aku mengangguk padanya dan dia membalas anggukanku. Ia berjalan ke kasir. Apakah akan membayar dan pergi? Tidak. Rupanya ia memesan sesuatu. Kasir itu mengangguk, tersenyum dengan ramah. Sekali lagi ia berjalan di depanku.

"Hay, kukira sudah mau pulang?" kataku pada perempuan itu. Ia menjawab sambil tersenyum.

"Belum. Aku masih senang di sini."
"Suka membaca ya?"

"Suka juga. Kamu sendiri lagi mengetik apa?"
"Aku? Aku mengetik jiwaku."

"Sebuah kias yang bagus. Sastra ya?"
"Begitulah."

Seorang pelayan berputar sambil membawa nampan.
"Maaf ya, Bu," katanya, "apakah akan kuletakkan di meja Ibu?"

Perempuan itu mau menjawab. Tapi aku segera berkata.
"Bagaimana kalau bergabung di mejaku? Atau aku ke mejamu?"

Ia tersenyum.
"Di sini saja!"

Ia berjalan ke mejanya, mengambil barang-barangnya dan berjalan ke mejaku. Pelayan meletakkan minuman. Segelas redwine. Jadi ia minum anggur. Pemabukkah dia?
"Aku minum cuma iseng. Tak pernah mabuk. Orang kan butuh hiburan."

"Benar. Kamu kerja di mana?"
"Di sebuah perusahaan konsultan."

"Oh. Konsultan?"
"Ya. Konsultan psikologi."

"Oh, kukira tadi konsultan konstruksi."
"Konstruksi juga. Tapi jiwa manusia."

Ia tertawa. Matanya indah. Agak sipit. Agak sayu.
"Aku belum tahu namamu. Aku Hudan."

"Nama yang bagus. Aku Izza."
"Aku suka namamu. Nama yang indah."

"Ada kenangan rupanya?"
"Ya. Ada sedikit."

Hari mulai malam. Lampu-lampu dinyalakan. Tiga meja dari kami, duduk lima orang anak muda. Mereka bercakap dengan gembira. Sesekali tawa mereka meledak. Persis di depan, seorang ibu duduk melamun. Tangannya menggenggam bir. Kemudian masuk seorang lelaki dan seorang perempuan sebaya. Tanpa memilih lagi, mereka duduk di meja yang kosong. Seorang pelayan mendekat, menyodorkan menu. Lelaki itu tak peduli. Perempuan itu menyebutkan sesuatu. Pelayan pergi. Lelaki dan perempuan itu duduk berdiam diri. Tak lama kemudian lelaki itu bangkit, dan setengah menunjuk, berteriak kepada perempuan itu.

"Pertengkaran sudah dimulai!"
"Benar. Tapi untuk apa ya? Hidup mustinya dibuat gembira!"

"Ya begitulah hidup. Kamu sendiri, pernah kan bertengkar dengan suamimu?"
"Aku? Oh, aku belum kawin!"

"Belum kawin! Sudah kuduga. Dari caramu duduk dan membaca, aku tahu kamu belum kawin. Tapi cincin di jarimu itu, bukankah cincin kawin?"
"Ini bukan cincin kawin. Aku senang saja memakainya. Kamu sendiri, pernah kan bertengkar dengan istrimu?"

"Aku juga belum kawin. Memang pernah hampir, tapi tidak jadi."
"Mengapa? Ya, aku tahu. Perempuan itu bernama Izza! Dan kau punya kenangan. Sedikit, katamu tadi."

"Kamu memperhatikan ya?"
"Lho, kita kan sedang bercakap-cakap. Apa kamu tidak memperhatikan?"

"Aku memperhatikan kamu dari tadi."
"Aku juga."

"Aku memperhatikan kamu membaca."
"Aku memperhatikan kamu mengetik."

"Dan kamu ke toilet."
"Dan kamu ke mejaku. Melihat bukuku."’

"Dan kamu memesan menu."
"Dan kamu mengajakku ke mejamu."
Kami tertawa. Izza cantik sekali kalau tertawa. Aku merasa ada yang hidup dalam diriku. Tapi apakah hidup juga dalam dirinya? Aku pernah hidup semacam ini, tapi akhirnya berantakan.

"Ceritakan tentang hidupmu. Mengapa tidak kawin dengannya? Siapa tadi namanya? Ya, Izza. Seperti namaku! Kok kebetulan sekali? Aneh memang hidup ini."

"Kamu mau mendengar? Aku takut kamu tidak kuat."
"Mengapa? Ceritalah. Aku kuat. Aku siap mendengar apa saja."

"Benar kamu siap mendengar apa saja? Termasuk yang mengerikan?"
Izza memandangku heran. Ia tersenyum. Mungkin aku main-main, pikirnya. Tapi aku tidak tersenyum. Izza mulai percaya aku serius.

"Ceritalah. Sungguh aku siap mendengar apa saja. Hidupku juga kacau. Mungkin tidak kalah mengerikan dari hidupmu."
"Ya, memang hidup ini mengerikan."

Dan aku mulai bercerita. Tak terbayang aku bisa membunuh calon istriku. Suatu hari aku melihat dia naik mobil bersama seorang lelaki. Aku heran, aku tidak kenal lelaki itu. Aku mengikuti mobil mereka. Aku ikuti mereka masuk ke hotel. Sampai menghilang dalam kamar. Tak lama kemudian kamar itu kuketuk. Kukatakan room service. Mereka membuka kamar dan kudorong lelaki setengah baya itu ke ranjang. Kulihat Izza hanya memakai handuk. Jadi inilah yang mereka kehendaki, kataku. Maka kubenamkan belati ke dada lelaki itu. Aku pun mulai mendekati Izza. Dia berteriak dan meminta agar aku mendengarnya. Aku tidak mendengarnya. Aku hanya membenamkan belatiku dengan sekuat tenaga. Izza terpekik tak percaya. Tapi belati itu telah masuk dalam perutnya. Sebelum dia mati, dia sempat berbisik ke telingaku. Meminta agar aku percaya, memaafkannya: dia melakukan semua itu karena ayahnya harus operasi. Kanker, katanya. Sedang mereka tak ada biaya operasi. Akhirnya Izza mengorbankan diri. Kupeluk Izza-ku dengan sayang. Aku menangis. Mengapa begini jadinya, kataku padanya. Izza mengucapkan kata-kata yang aku tak tahu maknanya. Lalu matanya terpejam, seperti orang tidur. Begitulah ceritaku.

Aku tersadar ketika Izza memegang tanganku. Ia menatapku dengan tenang.
"Kamu tidak sendirian sayang," katanya padaku.

"Apa maksud kamu?"
"Aku juga sudah membunuh calon suamiku. Tapi kamu lebih beruntung: Izza-mu tidak berkhianat. Ia cuma berkorban untuk ayahnya. Sedang calon suamiku berkhianat. Maka aku membunuhnya."

"Dengan cara bagaimana kamu membunuhnya?"
"Aku membunuhnya begitu saja. Mereka melakukannya di kamarku. Andre memang peminum. Tapi berjanji tidak akan minum lagi. Akan mengurangi sedikit-sedikit, katanya. Aku percaya. Tapi ketika aku pulang, rumah sepi. Perasaanku tidak enak. Aku membuka pintu depan. Berjalan ke kamarku. Kudengar suara tawa cekikikan. Lalu kudengar suara Andre. Jadi begini rupanya. Maka kudorong pintu. Mereka terpekik. Kedua-duanya tanpa busana. Kulihat botol vodka dengan isi setengahnya. Jadi begini rupanya. Maka tanpa sadar tanganku meraih botol vodka dan menghempaskannya ke kepala Andre. Belum puas, kupecahkan botol itu ke dinding. Dengan cepat benda tajam itu kubenamkan ke wajahnya. Andre terkulai, seperti orang tak punya tulang belakang. Kemudian pembantuku mau lari, tapi pintu segera kukunci."

"Oh, maafkan. Kukira nyonya keluar kota!"
"Ya, saya memang keluar kota, dan kini kembali untuk kalian berdua. Sini!" kataku padanya. Ia berteriak.

"Jangan!"
Tapi pecahan botol vodka itu amblas ke mukanya.

"Begitulah ceritaku," kata Izza, sambil memainkan gelas dengan tangannya. Anggur yang yang tinggal setengah itu bergoyang. Aku meneguk bir terakhirku. Kugenggam tangan Izza. Ia membalas dengan genggaman yang sama.

Cerpen Hudan Hidayat

Perempuan Kecil Bermata Belati

Mulanya hanyalah seorang pengemis kecil yang kudorong dengan kasar sehingga jatuh terduduk ke gundukan batu-batu. Muncul dari sekelompok pengemis yang menunggu para pendaki di tepi jalan setapak menuju Gua Hira, gadis kecil itu mencegatku di deretan paling depan dan langsung menggelayuti sajadahku dengan cengkeraman yang begitu kuat. "Ana miskin...ana miskin...," rengeknya dengan tatapan mata iba sambil menadahkan tangan kanannya ke dadaku.

Ketika itu aku benar-benar kehabisan uang kecil, karena terlalu banyaknya pengemis di sepanjang jalan setapak itu --konon mereka datang dari daerah-daerah miskin di Asia Tengah. Kalaupun masih ada uang receh di dompetku, paling kecil 10 dinar dan ini pecahan yang tidak lazim dibagikan kepada pengemis. Tetapi, ternyata tidak gampang untuk menolak pengemis-pengemis yang rata-rata masih di bawah umur itu. Mereka akan menggelayuti tangan, ujung baju, sarung, sajadah, atau apa saja, untuk memaksa pendaki memberi mereka uang receh.

Begitulah dengan gadis kecil yang menggelayuti ujung sajadahku, sehingga aku sulit untuk meneruskan perjalanan. Barkali-kali aku mencoba menolaknya dengan halus, dengan bahasa Inggris campur Arab, "No money... no more... no more.... La... la... Ana laisa fulus... laisa fulus...Halas...halas!" kataku sambil menggerakkan tangan dengan isyarat menolak, dengan harapan ia mengerti maksudku dan segera melepaskan ujung sajadahku.

Tapi, gadis kecil itu masih menggelayut begitu kuat di ujung sajadahku, sampai terjadi tarik-menarik sajadah antara aku dengan si kecil yang punya "daya juang" tinggi itu. Maka, dengan agak marah, kutarik sekeras-kerasnya sajadahku, lepas dari cengkeramannya. Dan, ketika gadis kecil itu tetap memburuku untuk meraih ujung baju kokoku, kuhempaskan dia dengan kasar, sehingga terhuyung-huyung jatuh terduduk ke atas gundukan batu-batu. "Ana miskin... ana miskin...," rengeknya dengan tatapan mata cokelat yang makin mengiba ke arahku.

Dan, tatapan itulah yang terus memburuku, terus menusuk-nusuk ulu hatiku, sampai aku kembali ke hotel. Saat makan malam, tiap menjelang shalat, dan terutama menjelang tidur, mata cokelat perempuan kecil itu seperti hadir kembali dengan seluruh dirinya. Wajahnya yang oval dengan hidung mancung, alisnya yang tebal dengan mata cokelat bulat lebar --wajah khas Afghanistan-- dengan rambut panjang hitam kemerahan dikepang dua, seakan hadir seluruhnya dengan begitu nyata. Dan, suaranya seperti terngiang-ngiang kembali di telingaku, "Ana miskin... ana miskin...."
***

Perempuan kecil itu sebenarnya sangat cantik. Setidaknya, di atas rata-rata anak perempuan Indonesia. Usianya mungkin baru sekitar 10 tahun. Posturnya yang tinggi-padat dengan kulit kuning bersih sebenarnya kurang pas dengan pekerjaannya sebagai pengemis. Apalagi di bukit terpencil yang terik di siang hari dan menggigilkan di malam hari. Hanya rok hijau lusuhnya yang kumal dan robek-robek, dan rambutnya yang tidak terurus, yang memberi kesan dia sebagai gembel.

Sejujurnya, ketika itu kami juga sedang merindukan anak perempuan, untuk melengkapi dua anak laki-laki kami. Dan, doa inilah yang berulang-ulang kuucapkan di multazamm --tempat berdoa yang paling mustajab-- sehabis wukuf. "Kamu merindukan anak perempuan....Kamu terus berdoa memohon anak perempuan. Tetapi, kenapa kau tolak kehadiran anak perempuan, bahkan kau sakiti hatinya?" Sebuah suara tiba-tiba menyambar batinku.

Ya, perempuan kecil itu memang cukup mewakili sosok anak perempuan yang kurindukan, cantik, sehat, dan cerdas. Namun, tentu bukan pengemis. Jelas aku takkan ikhlas anakku jadi peminta-minta. Anakku harus mandiri dan banyak memberi. Bukan banyak meminta. Tapi, mengapa wajah perempuan kecil itu terus memburuku dan tatapan mata ibanya terus menusuk-nusukkan belati ke ulu hatiku?
***

Keesokan harinya aku benar-benar kembali mendaki Jabal Noor (Bukit Cahaya) untuk menemukan gadis kecil bermata belati itu. Kuingat betul wajah kekanakannya, mata bulat cokelatnya, alis tebalnya, hidung mancungnya, bibir merekahnya, dan rambutnya yang hitam kemerahan dan dikepang dua. Juga kuingat baju hijau lusuhnya yang robek lengan dan ujung kanannya, kaki telanjangnya yang ramping, dari kelompok pengemis mana ia muncul dan di mana ia kuhempaskan.

Tetapi anehnya, sesampai di lereng yang kuyakini sebagai tempat perempuan kecil bermata belati itu kuhempaskan, tak ada satu pun pengemis yang mencegatku. Beberapa pengemis kecil, kebanyakan perempuan, tetap asyik bermain di dekat bebatuan atau duduk-duduk santai di atas gundukan batu. Kusapukan pandanganku berkali-kali ke seluruh penjuru lereng itu, tapi tidak kutemukan juga perempuan kecil bermata belati itu. Akhirnya, anak-anak gembel itulah yang kupanggil untuk mendekat sambil berharap perempuan kecil yang kucari itu segera muncul dari balik bebatuan atau dari dalam gubuk kayu beratap kain-kain lusuh tidak jauh dari jalan setapak itu.

Beberapa kelompok pengemis kecil sudah mendekat dan segera pergi lagi setelah semua mendapat uang receh dariku, tapi tidak kutemukan juga perempuan kecil bermata belati yang kucari itu. "Ah, mungkin anak itu sudah pindah ke lereng yang agak ke atas," pikirku.

Aku sudah hendak melangkahkan kaki untuk mendaki lagi, namun ujung sajadahku tiba-tiba terasa berat. Aku menengok ke belakang, dan kulihat seorang perempuan kecil menggelayut di ujung sajadah tipis yang kuikatkan di pinggangku. "Ini dia!" teriakku dalam hati. Aku yakin, dialah perempuan kecil bermata belati yang kucari itu. Kurogoh saku baju kokoku, dan kuberi dia beberapa dinar. "Syukron... syukron!" katanya sambil menghitung-hitung uang itu dan meloncat-loncat kecil menjauhiku.

Melihat kegembiraan itu, dadaku terasa plong, seperti baru saja melunasi hutang pada kawan sekantor yang begitu mengganjal perasaan karena ia sering menagihnya. Maka, dengan perasaan lega akupun meneruskan perjalanan ke puncak, sebab masih terlalu siang untuk kembali ke hotel. Setidaknya, aku bisa shalat Ashar di puncak Jabal Noor atau di Gua Hira --tempat Nabi Muhammad SAW dulu menerima wahyu pertama.

Tetapi, baru sekitar 50 meter melangkah, aku melihat gadis kecil yang sangat mirip dengan perempuan kecil bermata belati yang kucari. Penampilannya masih seperti kemarin. Rambutnya masih dikepang dua, dan ketika kudekati, tatapan ibanya yang mengandung belati masih tajam menusuk ulu hatiku. "Ah, jangan-jangan ini yang benar," pikirku. Dan yang bersamanya, aku ingat, adalah pengemis-pengemis kecil yang kemarin juga. Hanya warna bajunya, lagi-lagi, yang berbeda. Kemarin hijau lusuh, kini kuning kecoklatan. Maka, kurogoh lagi saku bajuku lalu kuberi dia lima dinar. Dengan wajah terbengong-bengong gadis kecil itu menerimanya.

Namun, ketika aku hendak melangkah lagi, tiba-tiba ada yang terasa menggelayuti tangan kiriku, dan ternyata seorang perempuan kecil yang wajahnya sangat mirip dengan gadis kecil bermata belati yang baru saja berlalu. Rambutnya pun hitam kemerahan dan dikepang dua. Bajunya juga hijau lusuh seperti baju gadis kecil yang kucari itu. "Ana miskin... Ana miskin...," rengeknya sambil menadahkan tangan kanannya, persis seperti rengek perempuan kecil yang kemarin kuhempaskan ke atas gundukan batu.

Ini yang benar, pikirku. Inilah perempuan kecil yang kucari. Maka, segera kurogoh lagi saku celana jinku, dan kuberikan beberapa dinar kepadanya. Tetapi, bersamaan dengan itu, seperti serentak muncul pengemis-pengemis kecil dari balik bongkahan batu, dari celah bukit, dari dalam gubuk-gubuk beratap kain lusuh, lima, sepuluh, lima belas, tiga puluh .... dan banyak di antara mereka yang wajahnya sangat mirip dengan perempuan kecil bermata belati yang kemarin kuhempaskan itu. Mereka melangkah serentak ke arahku, seperti mumi-mumi hidup, dengan pakaian compang-camping, sambil menadahkan tangan dan koor, "Ana miskin... ana miskin...."

Dengan begitu cepat pengemis-pengemis kecil itu mengepungku, sehingga aku tak dapat menghindar dari mereka. Dengan agresif tangan-tangan kecil mereka pun menadah di sekelilingku, bertempelan di dadaku, di lengan kanan-kiriku, di punggungku. Dan, dengan tatapan-tatapan iba yang menghunjamkan puluhan pisau belati ke ulu hatiku, mereka memaksaku untuk menguras seluruh isi saku bajuku, saku celanaku, dan dompetku. Dengan tangan gemetar dan perasaan tak menentu, kubagikan semua sisa recehan satu dinar, lima dinar, dan bahkan sepuluh dinarku.

Satu demi satu mereka pun pergi meninggalkanku, kembali ke balik bongkahan-bongkahan batu, ke dalam gukuk-gubuk beratap kain lusuh dan ke celah-celah pebukitan tandus Jabal Noor. Dengan tubuh lemas dan perasaan tak menentu, akhirnya aku turun, dan langsung menuju Masjidil Haram. Usai shalat Ashar aku meninggalkan masjid untuk kembali ke hotel. Tapi, di pintu keluar aku masih dicegat seorang perempuan kecil bermata belati itu. Dan, ini yang paling persis di antara gadis-gadis kecil bermata belati yang kutemukan di Jabal Noor tadi. Rambutnya masih dikepang dua, dan roknya juga masih hijau lusuh dengan robekan kecil pada lengan kiri dan ujung bawah kanannya.

Maka, tanpa pikir panjang kurogoh dompetku dan kucari sisa uang receh yang ada. Tapi, tak ada lagi uang receh di sana. Yang kutemukan tinggal selembar 50 dinar. Dan, tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku, uang itu kuberikan begitu saja padanya. Sampai di kamar hotel aku baru sadar, yang kuberikan pada perempuan kecil bermata belati itu ternyata satu-satunya sisa uang sakuku.

Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda

Kekasih Seorang Lelaki

Ini kesekian kalinya aku ingin pergi. Dari rumah yang lima tahun lalu kubangun sedikit demi sedikit hingga akhirnya menjadi tempat berteduh bagiku dan Maya, istriku. Tapi kemudian aku tidak lagi merasa nyaman, ketika peristiwa itu terjadi di suatu malam, setelah aku kelelahan menulis. Aku berjumpa dengan kekasihku, dan kami saling jatuh cinta. Ia bilang telah menungguku begitu lama. Hingga tergurat luka rindu yang merentang panjang di antara aku dan dia. Waktu itu aku menatapnya tajam dan ia tertunduk malu. Kukatakan padanya aku akan datang menujunya. Ia bertanya, "Kapan?", seolah tak percaya pada perkataan dan janjiku. Kujawab, "Segera."

Tetapi setelah itu aku selalu gagal. Sepuluh kali aku mencoba pergi, tak pernah ada yang berhasil. Aku masih di sini, di rumahku bersama Maya, istriku. Saat itu Maya tidak tahu tentang rencanaku untuk pergi. Ia hanya sesekali bertanya dan merasa curiga padaku. Katanya sikapku semakin aneh di matanya. Biasanya aku meredam kecurigaan istriku itu dengan memeluk tubuhnya erat-erat. Mencium keningnya dan berkata, "Tidak ada yang aneh. Semua biasa saja." Setelah itu Maya diam. Dan aku tidak merasa bersalah sama sekali karena ketidakjujuranku.

Beberapa kali kekasihku datang menemuiku. Terutama ketika Maya tidak sedang berada di sampingku. Kulihat wajah kekasihku kian mengkerut dan tampak kelelahan.

"Kau kenapa?" tanyaku ragu-ragu karena cemas. Aku laki-laki pencemas. Terutama terhadap seorang yang kucintai.
"Terlalu lama aku menunggumu. Terlalu lama aku memetiki penanggalan hanya untuk menghitung waktu kedatanganmu yang palsu. Kau lihat, jari-jariku telah kaku dan membiru. Tubuhku beku tak terjamah pelukanmu. Kepulan asap putih yang menerbangkan rindumu padaku semakin mengabur. Melemah. Dan aku mulai tak sadarkan diri di kesendirianku yang panjang. Tapi kau tak datang juga padaku. Bahkan semakin jarang mengintip dan mengetuk pintu rumahku. Kau mengurung diri dalam kematian singkatmu yang menyedihkan. Bersama jiwa-jiwa yang tak benar-benar hidup. Kau menduakanku dengan kesementaraan. Sedang penantian dan cintaku adalah abadi bagimu. Aku menunggumu dalam kehidupan, tapi kau mengubur diri di makam yang kau lihat subur itu. Kita terlampau lama terpisah."

Aku melihat jelas mata kekasihku meredup. Kuulurkan tangan dan kukatakan padanya aku merasakan hal sama. Rindu yang menuntut penuntasan yang segera.

"Aku akan pulang. Untuk bersamamu," kataku.
Tetapi tubuh kekasihku berguncang. Seperti tertiup angin malam, ia berangsur menghilang dari hadapanku. Aku makin mencemaskannya yang pergi tanpa sempat berkata apa-apa lagi padaku.

Tanpa pikir panjang, esoknya aku memutuskan pergi. Sengaja aku tak membawa apa pun dari rumahku, karena aku tahu Maya akan membutuhkannya jika aku tak ada di sisinya lagi. Namun baru sampai teras rumah, Maya melihatku. Nafasnya naik turun menangkapku yang berniat pergi. Ia marah padaku.

"Kau mau pergi? Meninggalkanku?" tanyanya dengan ketus.
Aku menjawab dalam hati. Ya, istriku. Aku akan pergi. Dan kau tahu itu, pergi berarti meninggalkan. Tapi aku bukan mau meninggalkanmu. Aku akan meninggalkan kesementaraan ini. Kekasihku menungguku dalam kehidupan abadi. Maka aku akan pergi, jauh dari kematian ini.

Maya, istriku, memasang wajah kecewa. Dilipatnya gurat-gurat kebahagiaan yang selama ini menghiasi tulang pipinya yang merona. Sinar matanya meremang. Seperti mata kekasihku yang lelah menungguku. Aku mendadak cemas. Bukan pada Maya, tapi kekasihku. Rasanya aku akan gagal lagi, untuk pergi dari sini. Maya, istriku, menahanku. "Jangan pergi," katanya. Langkahku terhenti. Bayangan kekasihku hilang di benakku.

Maya memenjarakanku dalam peluknya yang berbau kematian. Nafasku sesak mengingat kekasihku yang jauh. Jangan kemari, kekasihku. Batinku. Kalau tidak, kau akan terbakar cemburu dan menangisiku yang bercengkerama bersama jiwa yang tak abadi ini. Kubiarkan Maya terus memelukku erat. Peluklah aku sekuat yang kau mampu perempuanku. Tapi kau tak akan pernah memeluk jiwaku. Karena jiwaku telah pergi terbawa rindu kekasihku. Dan kau tak pernah tahu itu.

"Katakan. Kenapa kau ingin meninggalkanku?" tanya Maya di antara pelukan panjangnya.
Aku harus pulang, Maya. Menemui kekasihku yang abadi. Kau hanya jiwa yang terkurung dalam makam kesementaraan. Kematian singkat yang menyedihkanku. Dan kekasihku sudah terlampau lama menungguku. Seperti aku juga merindukannya sejak dulu. Kini kami telah bertemu dan saling jatuh cinta. Menyatukan cinta yang terpisah lama dalam rentangan dua kejadian. Kau dan aku, di sini hanya sebuah kematian. Seperti pelukan ini yang kau tawarkan padaku. Membuatku mual oleh aroma kehinaan. Aku harus pulang, Maya. Dan aku tak perlu meminta maaf karena semua ini. Jangan menahanku dalam kedukaan ini, istriku. Mengapa tak kau temui saja kekasihmu seperti aku menjumpai kekasihku? Tidakkah kalian juga saling merindu? Dan kita tinggalkan pemakaman ini. Terbang menuju rumah cinta kekasih-kekasih kita.

"Mengapa kau diam? Sudahkah tidak ada yang berharga lagi di sini bagimu?" Maya makin erat memelukku.
Ayolah, Maya. Aku bukan siapa-siapa di sini. Aku hanya menjadi rumput liar yang tumbuh di sela-sela batu yang kau injak. Bahkan aku tak dapat tumbuh membesar. Aku mati dalam kekerdilanku. Kelemahanku. Kesementaraanku yang sangat singkat. Melindungimu pun aku tak dapat. Lepaskan genggamanmu yang melukaiku, istriku. Atau lemparkan saja aku ke arus sungai yang beriak dan menampar wajahku dengan kasar. Agar aku tersadar, dan tak lagi menyurutkan diri ke dalam lubang kematian yang memanggilku berulang-ulang. Melarangku untuk pergi, dan memelukku dengan aroma kematian yang mencekat. Maya, aku akan pergi. Pulang menuju kekasihku. Dan aku tak perlu minta maaf padamu.

"Kau tidak mencintaiku lagi?"
Maya, istriku, membentengiku dengan pagar-pagar ketakutan dan kesedihan miliknya. Ia menyalahkan dirinya atas kepergianku. Sungguh, perempuan yang mengajakku pada kematian, aku tak berani mencintai yang lain selain kekasihku. Tidakkah kau tahu aku begitu bahagia bisa bertemu dengannya lagi dan merajut percintaan abadi? Lalu kenapa kau ingin menarik kedua tanganku untuk kembali jatuh terguling-guling di dasar kesedihan? Mengapa kau minta dadaku hanya untuk menangisi kesementaraan? Maya, kau buat dadaku hancur tertusuki duri-duri bening yang mengesalkanku. Aku mulai tak tahan.

"Jangan katakan kau punya seorang yang lain," Maya mengisak.
Aku bertemu dengannya di suatu malam yang terang. Ya, aku mempunyai seorang yang lain. Kekasihku dari kehidupan yang abadi.

"Aku takkan melepaskanmu."
Maya, istriku, ini ancaman darimu? Apakah kesementaraan dapat mengancam sebuah penujuan keabadian? Aku akan pulang bersatu dengan kekasihku. Maya, sudahlah. Biarkan aku pergi.

Dan Maya tetap memelukku dalam pelukannya yang beraroma kematian. Semalaman aku dikuburnya dalam-dalam.
Kekasihku datang menemuiku dalam satu kesunyian. Maya tengah terlelap dalam mimpi malamnya. Lagi-lagi kekasihku mengajakku untuk bersatu dengannya. "Apa yang kau tunggu? Sampai kematian itu memanggil dan merebutmu lagi untuk tenggelam dalam kesedihan ini?" Kekasihku mengulurkan tangannya kepadaku.

"Maya adalah kematian yang ingin selalu mengurungku di sini. Ia adalah kematian yang memiliki warna kesedihannya sendiri. Yang dapat membuatku selalu jatuh dan kembali padanya."

"Pulanglah. Jangan menyiksa dirimu sendiri. Kematian itu sudah terlalu lama melakukannya padamu dan jiwa-jiwa lainnya. Mengapa kau masih ingin memelihara tangisan yang merugikan?"

Kutatap kekasihku yang begitu lama kurindu. "Aku pulang bersamamu," kataku. Dan aku bangkit meninggalkan rumahku, menuju rumah cinta bersama kekasihku.

Dan ini adalah yang kesekian kalinya Maya mencoba menahan kepergianku. Tubuhnya hanya terbalut pakaian tidur tipis ketika mengejarku. Tidak, jangan lagi. Pikirku.

"Baiklah. Kau boleh pergi. Bukankah kau selalu ingin pergi? Seperti dulu, saat kau berkeras ingin menjadi seorang penulis. Kau juga mengatakan itu sebagai kepergian atas sebuah panggilan. Kau bilang aku tak sampai untuk mendengar panggilan itu. Seperti itukah kali ini yang kau lakukan? Dan kau menyuruhku untuk melepasmu lagi, seperti dulu kubiarkan kau pergi di jalan kepenulisanmu yang nyata-nyata nyaris membunuhku? Betapa egoisnya kau."

Suara Maya menjadi petir di malam itu. Benarkah? Batinku. Mungkinkah kematian ini menemui mati yang kedua kali karena sebuah kepergian? Peninggalan? Maya, istriku, kali ini kau memanggilku dengan cara yang berbeda. Kesedihan yang lain. Tapi mengapa aku harus menoleh dan mendengarkan? Mengapa aku harus melupakan kekasihku dan menemuimu kembali? Mengapa aku harus menemanimu dalam kematian ini untuk terus bersedih dan tenggelam dalam kesementaraan? Bagaimana dengan kekasihku yang menungguku begitu lama? Aku demikian cemas. Terhadap kekasihku yang mulai melenyapkan dirinya di benakku.

Maya mendekat. Menghampiriku yang mencari bayang kekasihku yang hilang. Setengah sadar, aku sudah berada dalam pelukan yang sangat kukenal. Pelukan beraroma kematian. Maya mendekapku erat. Jiwaku terus memikirkan kekasihku yang entah ke mana. Tunggu aku, kekasihku. Aku akan datang. Segera.

Aku berduka. Karena penyatuan yang sekali lagi harus tertunda. Tapi pikiranku memberiku jalan lain. Mungkin kelak aku mesti mengajak Maya, istriku. Untuk meninggalkan kematian ini. Berkenalan dengan kekasihku yang abadi. Tetapi Maya memelukku dalam pelukannya yang beraroma kematian. Malam itu, dan malam-malam yang lain.

Cerpen Maya Wulan

Senja

Sering dibayangkannya bahwa awan-awan yang putih di bentangan langit biru itu adalah pulau-pulau kapas. Kadang, awan itu membentuk bentangan air terjun yang membeku, atau gunung karang putih yang mengambang di lautan biru.

Sehari penuh dia amati setiap perubahan yang ada di langit sana. Dan ketika awan-awan itu kian memerah dan akhirnya hilang oleh gelap malam, dia pun berjalan pulang ke rumahnya. Di sapanya rumput, batu, tanah dan perdu. Disenyuminya angin yang dengan nakal menyusup-nyusup di sela rambutnya.

Sesampainya di rumah, dia disambut keheningan yang berjingkrak-jingkrak bagai kanak-kanak menyambut ibu pulang dari pasar. Gelap, beranda rumahnya, berisi kursi plastik yang jebol di sana-sini, serta selapis debu siang hari.

Disapanya mawar merah dalam pot di beranda itu dengan siraman air. Kemudian dinyalakannya saklar dan beranda menunjukkan wajahnya yang samar-samar. Beberapa serangga mengitari bola lampu, seperti bergembira menyaksikan kehidupan ada di rumah itu.

Apa yang bisa dilakukannya setelah semua pintu kantor tertutup baginya? Tak ada lagi sisa pekerjaan. Kantor tak membutuhkan seorang laki-laki kurus, apatis, dan lamban seperti dia. Kantor tak membutuhkan otak yang selalu menolak dan menilai sebuah tugas. Tidak. Pintu-pintu kantor terbuka bagi mereka yang muda, gesit, dan tak banyak tanya; kecuali jumlah billing yang akan diterima kantor. Mereka bicara hanya soal insentif.

Laki-laki itu mendesah. Sejak semuanya tersapu badai krisis 98, istrinya pun minggat bersama --entah siapa. Meninggalkan semua, bahkan juga kenangan.

Laki-laki itu duduk, setelah tentu saja mandi, memasak mi instan dan memakannya di beranda. Sebatang kretek menyala dan terselip di sela jarinya yang kurus. Entah mengapa, dia ingin sekali menengok kotak pos di pagar. Dengan lesu, dia berjalan dan membuka kotak pos itu. Tak di sangkanya di sana ada sepucuk surat.

Dengan harap-harap cemas dia segera mengambil surat itu, membukanya buru-buru, dan mencari tempat di bawah lampu untuk membacanya.
Surat itu berasal dari seseorang yang tak dikenalnya. Si pengirim menyebutkan bahwa dia mendapatkan alamat serta nama si laki-laki itu dari seseorang yang "...kenal betul dengan bakat anda..", begitu yang tertulis di situ.

Dia tertegun. "Bakat?" gumamnya. Lalu dilanjutkannya membaca. Intinya, setelah panjang lebar menguraikan berbagai hal, si pengirim meminta laki-laki itu untuk bertandang ke rumahnya di kompleks perumahan mewah di kota itu.

Aneh. Mengapa dia tak langsung saja datang. Mengapa harus berkirim surat, jika tinggal di kota yang sama? Di situ, di bawah tanda tangan si pengirim, disertakan sebuah nomor telepon.

Usai membaca, laki-laki itu duduk lagi di kursi plastik jebolnya. Ada sesuatu yang tiba-tiba muncul di benaknya --entah apa, dia sendiri tak begitu paham. Dengan cepat dihisapnya rokok kretek itu. Asap mengepul-ngepul, sebelum lenyap ditiup angin.

Bergegas pula dia ke telepon, dan sambil melihat nomor yang ada di surat itu dia pun menekan-nekan angka yang dimaksud. Dia terdiam beberapa saat. Kemudian, "Haloo..." dan terjadilah pembicaraan yang agak tersendat-sendat.

Laki-laki itu banyak terdiam, mendengarkan. Jika pun harus menjawab, bibirnya hanya menyuarakan "oke" atau "baik", dan paling banyak "ya". Pembicaraan itu akhirnya selesai, setelah si laki-laki menjawab, "sama-sama."

Kembali dia duduk di beranda, sambil mencoba menyatukan berbagai kilasan bayangan di pembicaraan telepon tadi. Dinyalakannya sebatang rokok lagi. Lalu, sesaat setelah hisapan ketiga baru saja dilakukan, dia seakan mendapat jawaban akan apa yang seharusnya dilakukan.
***
Hari itu adalah hari ketiga dia "bekerja" di rumah si pengirim surat. Dan bahkan sampai hari ketiga itu pun, dia tak tahu siapa si pengirim surat. Dia hanya berhubungan dengan seseorang yang memperkenalkan diri sebagai "pembantu" si tuan rumah. Dan si "pembantu" itu pun enggan menyebutkan namanya. Laki-laki kurus itu tak keberatan. Apalah artinya dia mengetahui nama seseorang, jika hal itu tidak berhubungan dengan pekerjaannya. Bukankah dunia tempat dia hidup sudah memberinya semacam ekosistem seperti itu?

Seperti dua hari sebelumnya, dia duduk dan menunggu reaksi orang yang ditungguinya. Yang ditungguinya itu adalah seorang gadis muda, jelita, namun gila. Begitulah si "pembantu" bos besar itu mengatakannya dua hari yang lalu.

"Lalu, apa hubungannya dengan saya? Kalau dia gila, bawa saja ke rumah sakit gila..."
"Sudah. Dokter mengatakan bahwa dia tidak apa-apa."

"Kok, aneh? Kok, situ bisa mengatakan bahwa dia gila?"
"Ayahnya sendiri yang mengatakan begitu. Saya cuma meneruskan ucapannya kepada Anda."

"Terus, apa saya ini dianggap dukun?"
"Saya tidak tahu, Anda dukun atau bukan. Yang penting, Sampean diminta untuk mengupayakan agar dia sembuh. Begitu kata bos."

Laki-laki itu sebetulnya tak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap gadis cantik yang katanya gila itu. Dia hanya duduk dan menatapnya.
Ditatapnya sepasang bola mata yang bening namun kosong itu. Tak ada siapa-siapa di dalam bola mata itu. Gadis itu sendiri seperti telah pergi, atau mengembara ke negeri jauh, entah apa namanya.

Ini sudah hari yang ketiga. Dan laki-laki itu sendiri sudah putus asa menghadapi sesuatu yang tak jelas ini. Dia ingin mengatakan kepada si "pembantu" bos bahwa dia menyerah. Namun, ada sesuatu yang membuatnya batal mengatakan maksudnya.

Secara iseng, laki-laki itu kemudian mengambil sebuah patung kuda perunggu, yang memang bagus. Diperkirakannya, itu buatan Italia. Detil pada surai, bahkan pada bungkah otot-ototnya membuat kuda perunggu itu tampak bernyawa.

"Haha... apa kabar tuan putriku? Apakah hari ini tuan putri siap berjalan-jalan?" ucapnya sambil memainkan kuda yang hanya segenggaman tangan itu. Kuda itu digerak-gerakkannya di depan wajah si gadis.

Si "pembantu" hanya mendesah. Di benaknya hanya ada satu ungkapan "gila ternyata menular".
"Kita akan membelah awan. Tahukah tuanku bahwa awan sesungguhnya adalah sebuah daratan di langit. Dia tergantung, dan tidak terdiri dari tanah dan batu. Seluruh pohon, bahkan air yang ada di sana, adalah kabut putih yang indah. Dan manakala matahari bersinar, pohon-pohon di negeri awan itu akan tembus, laksana kristal."

"Bawa aku."
"Ten...tu, tentu." Tiba-tiba si laki-laki tercekat mendengar ucapan itu. Dia seperti tak menyangka bahwa itu diucapkan si gadis.

Si "pembantu" bos pun agaknya juga terheran-heran. Bagaimana mungkin, setelah bertahun-tahun, gadis itu "pergi" dari tubuhnya, mendadak kembali hanya karena bualan si laki-laki. Dia segera menelepon bosnya melalui hp.

Sementara itu, laki-laki kurus itu seperti melihat ada cahaya kehidupan di bola mata bening itu. Dia berhati-hati mengutarakan keindahan yang dikhayalkannya. Dan untuk beberapa kali, dia sempat menyaksikan senyum kecil tersungging di sudut bibir gadis cantik itu.

"Kau harus membawaku ke sana."
"Baik. Apakah tuan putri ingin naik ke punggungku?"

"Apakah kau bisa terbang?"
"Bisa. Lihat?" Laki-laki itu mengangkat kuda perunggu itu tinggi-tinggi melampaui kepalanya sendiri.

Si gadis tertawa kecil, matanya mengikuti ke mana pun gerak tangan si laki-laki terarah. Dan ketika si laki-laki pura-pura menjatuhkan kuda perunggu itu, si gadis terpekik dan tertawa senang.

Gunung es itu telah cair dan laki-laki itu seakan menemukan beranda rumahnya terang benderang. Mawar yang ada di pot kecil di beranda itu seakan berkembang dan mengharum.
***
Seminggu kemudian, gadis itu mau berdandan dan mengajak laki-laki itu berjalan-jalan di halaman rumahnya yang luas. Dia dengan manjanya merangkul lengan laki-laki itu. Dan tentu saja, laki-laki itu menjadi muda kembali --meskipun usianya belumlah setua wajahnya.

"Mas pernah menikah, ya?"
"Ya...dengan seekor kupu-kupu," candanya.
Gadis itu tergelak, "Cantik, tentunya..."

"Ya. Secantik kupu-kupu. Serapuh kupu-kupu..."
"Ke mana dia sekarang?"

"Terbang. Bukankah kupu-kupu selalu ingin dikejar?"
Kembali gelak tawa si gadis terdengar. "Kok, Mas tidak mengejarnya?"

"Capek."
"Capek? Kalau begitu selama menikah Mas mengejar dia terus-menerus?"

"Ya."
"Mas tidak suka mengejar perempuan, ya?"

"Ya. Capek."
"Mas tidak mencari pacar?"

"Tidak. Capek."
"Capek terus, sih?"

"Ya. Hidupku sudah amat melelahkan. Kamu sendiri ke mana saja selama ini?"

"Jalan-jalan."
"Ke mana?"

"Ke mana saja, asal tidak di rumah."
"Mengapa?"

"Capek?," jawabnya singkat menirukan gaya bicara si laki-laki. Keduanya kemudian tertawa bahagia. Sebuah dunia yang aneh, yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.

"Kata ayahmu, kamu mau dikawinkan. Dan sejak percakapan itu, kamu ?"menghilang". Mengapa, nggak suka sama calon suamimu?"

"Tahu dari mana?"
"Tuh, dia yang mengatakan padaku?," jawab si laki-laki sambil menunjuk pada si "pembantu".

"Herder macam dia dipercaya."
"Herder? Terlalu bagus; buldog," tambah si laki-laki sambil tertawa. Si gadis pun tertawa.

Setelah itu hening. Setelah hening, "Aku capek Mas. Semuanya ditentukan dan sudah ada jalurnya. Aku nggak bisa mengatakan "tidak", ya, akhirnya aku pilih diam saja."

"Mas, mau nggak, ngajak aku ke rumahmu?"
Laki-laki itu terdiam. Dia bukan saja ingin mengajak gadis cantik itu ke rumahnya, tetapi bahkan ke atas ranjangnya. Dia ingin memeluk dan menumpahkan kegersangan jiwanya selama ini ke tubuh si gadis itu.

"Ada syaratnya...," akhirnya si laki-laki berkata.
"Apa?"

"Kau harus mau jadi istriku."
"Mengapa?"

"Ya?pokoknya harus," jawab laki-laki itu sekenanya.
"Kalau?pacar?"

"Wah..."
"Kalau pacar, gimana?"

"Ya?mmm... gimana, ya?"
"Kita pacaran dulu."

"Ah, kamu kayak kupu-kupu."
"Tidak. Kupu-kupu hanya memberi isyarat agar dikejar. Aku tidak ingin kejar-kejaran. Aku hanya ingin kenal lebih lama."

"Begini, Dinda," baru kali itu laki-laki itu mengucapkan nama si gadis, "tugasku untuk "menyembuhkan" kamu sudah selesai. Kamu, kan... sekarang sudah bisa bicara dan tertawa."

"Jadi Mas pergi? Lalu mengunciku dalam ruang kenangan?"
"Tidak. Bukan maksudku begitu."

"Kalau Mas pergi, aku akan "pergi" lagi."
"Jangan, dong..."

"Kenapa?"
Laki-laki itu diam, dalam hati dia juga bertanya, apa sebetulnya yang tengah terjadi dalam hidupnya ini.

"Mas nggak merasa bahagia bersama aku?"
"Bahagia, karena melihat kamu bisa ceria lagi. Kembali lagi seperti dulu kala."

"Sok tahu. Aku nggak mau seperti dulu. Aku mau seperti besok, seperti yang akan datang..."

"Jangan aneh-aneh."
"Aku nggak aneh-aneh. Aku cuma kepingin bisa bicara apa saja yang aku suka. Aku hanya ingin tertawa, kapan saja aku mau. Dan itu semua hanya bisa kulakukan dengan Mas. Kalau Mas nggak ada, lantas...?"

"Bapak-ibumu nggak bisu, kan?"
"Siapa, tuh?"

"Siapa, yang siapa?"
"Bapak-ibu."

"Hus. Sama orang tua, kok, begitu."
"Siapa yang orang tua?"

"Ah, anak sekarang. Dosa besar kamu mengingkari orang tua sendiri."
"Siapa yang Mas sebut orang tua?"

"Ya...orang yang mbayar aku, yang kasih honor aku puluhan juta rupiah ini. Siapa lagi?"
"Ooo?orang tua itu?"

"Hei?jangan ngawur, lho."
"Tidak, aku tidak ngawur. Orang tua itu, kan?"

Laki-laki itu menatap Dinda dengan pandangan menyelidik. Sepasang mata Dinda seperti sengaja menyambut tatapannya. Seakan mempersilakannya masuk dan membongkar setiap relung dan liku yang ada di dalamnya.
***
Laki-laki itu, yang biasanya hanya diam menatapi awan-awan berserakan di langit, yang merasa hidupnya kosong melompong, tiba-tiba kalang kabut. Betapa tidak, Dinda yang selama ini diketahuinya adalah anak seorang kaya, yang sakit jiwa dan karenanya si bapak mencarikannya dukun, dan secara kebetulan memilih laki-laki itu, ternyata hanyalah bapak angkat Dinda. Dan si bapak angkat ternyata menginginkan Dinda seutuhnya. Dia menyayangi Dinda dan memaksakan diri masuk ke dalam ruang-ruang kesucian anak angkatnya itu. Tak mengherankan jika Dinda membeku.

Laki-laki itu mendidih mendengar semuanya, dan karenanya, entah dengan pertimbangan apa, dia segera mengajak Dinda terbang mengendarai kuda terbang.

Dia mendadak merasa menjadi Pronocitro yang mengajak terbang Roro Mendut dari kungkungan Adipati Wiroguno.
Tetapi, laki-laki itu tiba-tiba merasa capek. Dia tak ingin mengejar dan dikejar. Dia hanya ingin duduk tenang di beranda rumahnya yang sepi dan berdebu. Dia hanya ingin setiap kali menyirami mawarnya, ada kesegaran yang menyiram jiwanya.

Seperti senja itu. Laki-laki itu kembali duduk di beranda rumahnya, dan merokok. Dia dengan segera melipat halaman-halaman indah buku kehidupannya --walau hanya beberapa lembar-- bersama Dinda.

Di keheningan senja, di beranda rumahnya, dia hanya bisa membayangkan Dinda berada di sampingnya, meskipun saat itu, mungkin berada dalam pelukan orang lain. Laki-laki itu benar-benar merasa lelah, bahkan sekadar untuk mengakui bahwa dirinya seorang laki-laki.

Cerpen Yanusa Nugroho

Cahaya Bulan

Madame Julie Roubere tengah menanti kedatangan kakak perempuannya, Madame Henriette Letore, yang baru saja kembali dari perjalanan ke Negeri Swiss.

Seluruh keluarga Lotere melancong semenjak lima minggu lalu. Madame Henriette mengizinkan suaminya pulang sendirian ke kampung halamannya di Calvados, karena ada beberapa urusan bisnis yang harus diselesaikan, dan menghabiskan beberapa malam di Paris bersama kakaknya. Malam berlalu. Dalam keheningan yang senyap, Madame Roubere asyik membaca dengan pikiran kosong, sesekali menaikkan alis matanya setiap kali mendengar suara.

Akhirnya, pintu rumahnya diketuk, dan kakaknya muncul dalam balutan jaket tebal. Dan tanpa salam formal, mereka berpelukan penuh kasih dalam waktu yang cukup lama, melepaskan pelukan sebentar lalu saling memeluk lagi. Kemudian, mereka saling menanyakan kabar, keluarga dan ribuan hal lain, menggosip dan saling menyela, sementara Madame Henriette sibuk melepas jaket dan topinya.

Malam cukup gelap. Madame Roubere menyalakan lampu kecil, dan tak lama kemudian, dia acungkan lampu itu ke atas untuk menatap wajah kakaknya, lalu memeluknya sekali lagi. Namun, betapa terkejutnya dia saat menatap wajah kakak tercintanya itu. Dia mundur dan tampak ketakutan.

Di kepala Madame Letore tampak dua gepok besar rambut putih. Sisanya, rambut itu tampak hitam pekat berkilauan dan di setiap sisi kepalanya terdapat dua sisiran keperakan yang menyusur ke tengah gumpalan rambut hitam yang mengitarinya. Dia baru berumur 24 tahun, dan tentu saja perubahan ini benar-benar mengejutkan dia semenjak kepergiannya ke Swiss.

Tanpa bergerak sedikit pun, Madame Roubere menatap penuh keheranan, titik-titik air mata menetes ke kedua pipinya. Pikirannya berkecamuk, bencana apa yang telah terjadi pada kakaknya.

Dia bertanya, "Apa yang terjadi padamu, Henriette?"
Dengan menyunggingkan senyuman di wajahnya yang sedih, senyum seseorang yang patah hati, Henriette menjawab, "Tidak ada apa-apa. Sumpah. Apakah kamu sedang memperhatikan rambut putihku ini?"

Tetapi Madame Roubere keburu merampas pundaknya, menatapnya tajam, dan mengulangi pertanyaannya lagi.
"Apa yang terjadi padamu? Ayo katakan, apa yang telah terjadi. Dan jika kamu berbohong, aku pasti akan mengetahuinya."

Mereka masih saling pandang, dan Madame Henriette, yang terlihat seolah-olah hendak pingsan, meneteskan air mata dari kedua sudut matanya.
Adiknya bertanya lagi, "Apa yang terjadi padamu? Apa yang terjadi? Ayo jawab aku!"

Dengan suara patah-patah sambil tersedu, Henriette menjawab, "Aku … aku punya seorang kekasih."
Ketika sedikit lebih tenang, ketika degup jantungnya yang keras mulai mereda, dia memasrahkan kepalanya ke dada adiknya seolah-olah hendak melepaskan semua beban hatinya, untuk menguras seluruh derita yang telah menyesakkan dadanya.

Dengan tangan saling bergenggaman, dua kakak beradik ini berjalan menuju sofa di sudut ruangan yang gelap. Mereka tenggelam dalam keharuan, sang adik memeluk kakaknya erat-erat untuk mendekatkan diri, lalu mendengarkan.

"Oh! Aku tahu kalimatku ini tidak masuk akal; aku bahkan tidak dapat memahami diriku sendiri, dan semenjak itu aku merasa telah menjadi orang gila. Berhati-hatilah, adikku, berhati-hatilah dengan dirimu sendiri! Jika saja kamu tahu betapa lemahnya kita, betapa cepatnya kita menyerah dan jatuh. Cukup satu momen kelembutan saja, satu masa melankolis yang menerpamu di antara ribuan kerinduan untuk membuka tanganmu, untuk mencintai, menyukai sesuatu, maka kamu pun akan dengan mudah jatuh.

Kamu mengenal suamiku, dan kamu tahu betapa aku mencintainya; tetapi dia pria yang matang dan rasional, dan tak mampu memahami getaran lembut hati seorang wanita. Dia selalu sama, selalu baik, selalu tersenyum, selalu ramah, selalu sempurna. Oh! Betapa kadang-kadang aku berharap agar dia memelukku dalam kedua tangannya lalu memberiku ciuman lembut yang manis dan pelan-pelan. Betapa aku berharap agar dia menjadi pria yang bodoh, bahkan lemah, sehingga dia merasa membutuhkanku, membutuhkan belaianku dan air mataku.

Semua ini kelihatannya culun; tetapi kita, para wanita, memang ditakdirkan seperti itu. Apa daya kita? Tapi, tidak pernah terpikir olehku untuk meninggalkan suamiku. Sekarang terjadi, tanpa cinta, tanpa alasan, tanpa apa pun, hanya karena bulan telah menyinariku suatu malam di pinggir Danau Lucerne itu.

Selama satu bulan itu, ketika kami melakukan perjalanan bersama, suamiku, dengan sikapnya yang masih acuh tak acuh, telah melumpuhkan semangatku, memadamkan rasa puitisku. Ketika kami menuruni jalan-jalan di pegunungan saat matahari terbit, ketika dua ekor kuda saling bersenda-gurau, dalam keremangan kabut, kami memandang lembah, hutan, sungai dan pedesaan, aku bertepuk tangan keras-keras dan berkata kepadanya: ’Betapa indahnya, wahai suamiku! Beri aku ciuman! Cium aku!’ Dia hanya menjawab, dengan senyum dinginnya: ’Tidak ada alasan bagi kita untuk saling berciuman hanya karena kamu menyukai pemandangan ini.’

Dan kalimatnya itu telah membekukan hatiku. Menurutku, ketika dua orang saling mencintai, mereka harusnya semakin tersentuh oleh pemandangan-pemandangan yang indah. Aku membeku bersama puisi hatiku. Aku seperti tungku yang tersiram atau botol yang tersegel rapat.

Suatu malam (kami menginap empat malam di sebuah hotel di Fluelen), karena sakit kepala, Robert langsung tidur setelah makan malam, dan aku berjalan sendirian menyusuri jalan di pinggir danau itu.

Malam itu berlalu seperti dongeng-dongeng sebelum tidur. Bulan purnama mendadak muncul di atas langit; pegunungan tinggi, dengan semburat putih salju, seperti mengenakan mahkota warna perak; air danau gemericik dengan riak-riak kecil yang berkilauan. Udara begitu lembut, dengan kehangatan yang merasukiku sampai seperti mau pingsan. Aku begitu kepayang tanpa sebab apa pun. Tetapi, betapa peka, betapa bergolaknya hati saat itu! Jantungku berdegup keras dan emosiku semakin kuat.

Aku duduk di atas rumput, menatap danau yang luas, melankolis dan menakjubkan itu, seolah-olah ada perasaan aneh merasukiku; aku terangkum dalam rasa haus akan cinta yang tak terlegakan, sebuah pemberontakan terhadap kebodohanku sepanjang hidupku. Apa! Tidakkah menjadi takdir bagiku untuk dapat berjalan dengan seorang pria yang kucintai, dengan tangan saling berpelukan dan mulut saling berciuman, di pinggir danau seperti ini? Tidak bolehkah bibirku mengecap dalamnya ciuman yang lezat dan memabukkan di malam yang telah diciptakan Tuhan untuk dinikmati? Apakah ini nasibku untuk tidak meresapi indahnya cinta dalam bayang-bayang cahaya bulan di malam musim panas ini?

Lalu tangisku meledak seperti wanita gila. Kudengar sesuatu bergerak di belakangku. Dan seorang pria berdiri di sana, menatapku tajam. Ketika kupalingkan kepalaku, dia mengenaliku dan berkata, ’Kamu menangis, nyonya?’

Dialah pemuda yang tengah melancong bersama ibunya, dan kami sering bertemu. Matanya seringkali menguntitku. Aku begitu bingung dan tidak tahu harus menjawab apa. Kujawab saja bahwa aku sedang sakit.

Dia berjalan di dekatku dengan cara yang santun dan lembut, lalu mulai berbicara kepadaku tentang perjalanan kami. Segala yang kurasakan telah dia terjemahkan ke dalam kata-kata. Segala hal yang membuatku bergairah dapat dia pahami dengan sempurna, lebih baik dari diriku sendiri. Dan tiba-tiba dia mengutip larik-larik puisi Alfred de Musset. Tenggorokanku tersekat, aku terpesona dengan emosi yang meluap-luap. Terlihat di sekelilingku, pegunungan, danau dan cahaya bulan tengah bernyanyi untukku.

Lalu terjadilah. Entahlah. Aku tak tahu kenapa, semacam sebuah halusinasi.
Aku tidak bertemu lagi dengannya, sampai suatu pagi dia harus melanjutkan perjalanannya lagi. Dia memberiku sebuah kartu!"

Lalu, sambil jatuh ke dalam pelukan adik perempuannya itu, Madame Lotere menangis sesenggukan, nyaris seperti anak kecil. Madame Roubere, dengan wajah serius, berkata dengan lembut, "Dengarlah, kakakku, seringkali bukanlah seorang pria yang sesungguhnya kita cintai, tetapi cinta itu sendiri. Dan cahaya bulanlah yang menjadi kekasih sejatimu malam itu." ***

Cerpen Guy de Maupassant

Lelaki Muda dan Gadis Kecil

"Tamu Bu," Bibi membungkuk santun, mengarahkan ibu jarinya ke ruang depan.

"Siapa?" tanyaku sambil melipat koran, melepas kaca mata.

"Tidak tahu Bu, belum pernah ke mari."

Aku mengangguk. Bangkit dengan benak penuh tanya, aku yakin tamu itu bukan teman bisnisku, karena ini hari Minggu. Bukan pula saudara, karena biasanya mereka menelepon lebih dulu memastikan aku ada di rumah. Mungkin saudara jauh atau teman lama yang tidak tahu adat kebiasaanku? Bisa jadi.

Begitu membuka pintu kudapati seorang lelaki muda dan gadis kecil yang tengah bercanda di teras. Lelaki itu berkulit coklat terbakar matahari, berpakaian agak lusuh. Si gadis kecil berkulit lebih terang, berbaju baru dengan bahan kualitas rendah. Ketika gadis itu menoleh padaku, segera kutangkap sinar di wajahnya yang membuatku terkesiap beberapa saat. Sinar wajah itu tak asing bagiku. Meski bentuk hidung dan mata kedua tamu itu sama --yang membuatku bisa segera menyimpulkan bahwa mereka adalah bapak dan anak-- namun kutemui sinar lain di wajah anak itu.

Lelaki muda itu menoleh ke pintu, ke arahku. Seketika dia berdiri, mengangguk sedikit dan mengucap selamat siang. Aku menjawab dengan sedikit goyangan kepala. Sedikit saja. Tawa kecil si gadis kecil pun terhenti. Kupersilakan keduanya masuk, masih dengan jantung yang sedikit berdebar. Siapa mereka? Lelaki lusuh dengan sorot mata tajam. Jelas kemari bukan untuk minta sumbangan.

Setelah kami duduk, dia mulai memperkenalkan dirinya.

"Saya Jaya, Tante. Dan ini Neyla," katanya sambil meletakkan tangannya di bahu gadis kecil itu.

Neyla. Nama yang begitu mirip dengan nama anak gadisku dulu, Neyna.

"Maaf, mengganggu hari libur Tante," katanya. Suaranya mantap dengan intonasi jelas dan tatap mata yang begitu percaya dirinya.

Aku yakin dia bukan orang sembarangan. Cara dia berbicara dan tatap mata itu, tidak dimiliki oleh sembarang orang. Untung aku memperlakukannya dengan baik, batinku. Kutatap dia lebih lekat, mencoba menjajaki lebih dalam siapa sebenarnya laki-laki di depanku itu. Dia cukup tampan. Mungkin kemelaratan membuatnya kurang terawat dan tampak lebih tua dari usia sebenarnya.

"Saya ada titipan dari Neyna."

Neyna. Dia menyebut nama itu! Seketika menegang otot-ototku.

"Maaf baru bisa menyampaikan sekarang," lanjutnya. "Sangat terlambat, tetapi memang baru sekarang kami sempat ke kota ini."

Dia keluarkan dari tasnya yang kumal sebuah bungkusan pipih dan diulurkannya padaku. Kuterima bungkusan itu dan kubuka salah satu sisinya. Foto kami. Aku, suamiku, Andreas, dan Neyna. Foto yang dibuat ketika dua anak kami masih kecil. Mungkin Neyna baru seusia gadis di depanku itu. Jadi Neyna yang telah mengambil foto ini dari ruang tengah, batinku.

"Neyna minta maaf tidak minta izin mengambilnya dan minta tolong saya mengembalikannya kemari."

"Kenapa bukan dia sendiri yang mengembalikannya pada kami?" keramahan yang baru mulai muncul seketika sirna. Sikapku berubah dingin dan kaku.

Ingatan pada Neyna, anak perempuanku itu telah membuka kembali luka masa lalu. Masih jelas dalam ingatan betapa anak yang kukandung, kulahirkan dan kubesarkan itu tega menampar-nampar wajahku. Aku tak tahu, apa yang telah merasukinya. Neyna yang begitu manis dan menyegarkan hari-hari kami sekeluarga, sedikit demi sedikit mulai berubah begitu masuk kuliah dulu. Awalnya, hanya ikut kegiatan kemahasiswaan saja. Selanjutnya dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman di organisasi mahasiswa. Waktu itu aku mulai menegurnya. Kami sempat berdebat sebelum akhirnya tercapai kesepakatan bahwa aku tidak akan melarangnya berkegiatan selama dia mampu mempertahankan prestasi akademiknya.

Lama-lama dia mulai malas pulang. Rumah hanya dijadikan tempat singgah, tempat menyimpan barang yang diperlukannya kadang-kadang. Komunikasinya denganku menurun drastis. Aku yang dulu berfungsi sebagai teman ngobrol berubah menjadi kasir yang hanya ditemui pada saat butuh duit. Begitu jarangnya dia pulang hingga kadang aku terkaget-kaget ketika bertemu. Anak gadisku yang cantik, bersih, dan wangi tiba-tiba kutemui telah jadi malas merawat diri. Dia datang menemuiku dengan wajah tirus, mata lelah, dan baju yang apek. Bahkan pertemuan selanjutnya tidak kutemui lagi rambut hitamnya yang dulu lebat dan indah dengan poni yang membuatnya seperti boneka Barbee. Rambut itu telah dipangkas pendek karena dia merasa terlalu ribet mengurusnya.

Aku mulai punya alasan untuk marah dan melarangnya berkegiatan, tetapi dia membantah. Bahkan terang-terangan menyatakan sikapnya terhadapku. Mengkritik aku yang katanya otoriter, menjalankan kepemimpinan rumah tangga dan perusahaan sekehendakku, tanpa mau mendengar usulan dan suara ketertindasan orang lain. Siapa tak akan terbakar? Tahu apa dia tentang kehidupan rumah tangga? Apalagi tentang perusahaan. Tak sadarkah dia bahwa perusahaanlah yang membuatnya bisa hidup seperti sekarang?

"Perusahaan itu tumpuan hidup kita. Kamu tidak perlu mencampuri urusanku di sana karena kehancuran perusahaan berarti kehancuran hidup kita," kataku pelan namun tajam.

"Ya, memang perusahaan itu yang membuat kita jaya dan kaya-raya. Tetapi ingat Ma, itu bukan hasil kerja Mama. Para buruh itulah tulang punggungnya. Dan selama ini Mama dengan atas nama perusahaan telah memeras tenaga mereka tanpa imbalan yang sepadan," teriak Neyna lantang.

Aku meradang. "Kalau tak suka dengan cara kerjaku, jangan makan dari hasil kerjaku. Pergi, carilah makan sendiri atau tetap tinggal di sini dan kunci mulutmu!"

Di luar dugaan, benar-benar di luar dugaan, Neyna menerima tantanganku. Dia memilih keluar dari rumah. Meninggalkan kehidupan yang tak ada kurangnya ini dan menggantinya dengan kehidupan liar. Kehidupan yang serba tak tentu. Tidur di mana pun dan makan dari siapa pun. Entah seperti apa tepatnya, aku tak bisa membayangkan.

Pernah aku berniat menyusulnya karena tak tega, tetapi sebelum niat itu kesampian dia justru memimpin demo karyawan menuntut perbaikan kesejahteraan. Maka tidak sekadar gagal keinginanku menjemputnya, tetapi lebur juga maafku untuknya. Sejak itu aku tak mau berpikir tentang anak itu lagi. Dia kuanggap sudah hilang atau mati. Dia sudah bukan anakku lagi! Rupanya kepergiannya waktu itu sambil membawa foto yang sekarang ada di tanganku ini.

"Kenapa tak dia kembalikan sendiri foto ini?" tanyaku dengan sisa kemarahan masa lalu.

"Dia tak bisa," jawab Jaya.

"Kenapa?" tanyaku. "Takut bertemu denganku?"

"Bukan," Jaya menggeleng lemah. Berkedip-kedip sebentar. "Dia tak bisa menemui siapa pun lagi," lanjutnya pelan sambil menahan napas.

"Sakit?" tanyaku masih dengan keangkuhan.

Jaya menggeleng. Tanpa menatapku dia berkata-kata, "Neyna sudah…. pergi. Setengah tahun lalu." Dan laki-laki di hadapanku itu pun mengusap air matanya yang mengambang.

Aku menghempaskan diri. Tak sengaja. Memang aku begitu terluka oleh ulahnya dan meniatkan tak menganggapnya lagi sebagai putriku, tetapi kabar ini begitu mencabik perasaanku. Neyna, putri cantikku itu telah pergi selamanya…

"Maafkan, saya tak bisa menjaganya," laki-laki itu telah mampu menguasai perasaannya. Sikapnya kembali tenang. "Semuanya berjalan begitu cepat. Suatu hari tiba-tiba saya jumpai Neyna muntah darah. Saat itu juga saya bawa dia ke rumah sakit. Beberapa hari di sana, dokter menganjurkan agar dibawa pulang saja. Kanker ganas di paru-parunya telah menjalar ke organ-organ lain dan tim medis sudah tidak bisa berbuat apa-apa," dia berhenti sebentar, menghela napas. " Salah saya, selama ini tak pernah memperhatikan kesehatannya."

Kami saling diam beberapa saat lamanya. Masing-masing larut dengan kenangan dan penyesalan.

"Kau suaminya?" tanyaku kemudian dengan nada yang lebih lunak.
Dia menatapku sebentar sebelum mengangguk ragu. "Maaf, saya tak minta izin Tante lebih dulu."

"Jadi ini anak Neyna," kataku lirih, hampir pada diri sendiri. "Kalau boleh, biar aku yang mengasuhnya," kataku tiba-tiba.

Jaya tersenyum. "Makasih Tante, dia adalah napas saya. Jadi tak mungkin saya berpisah dengannya. Meskipun saya tak mungkin memberi kemewahan padanya."

Aku cukup tertampar dengan jawabannya. Tapi kutahan tak memberi reaksi apa pun pada jawaban itu.

Tak lama kemudian laki-laki itu minta diri. Kuantar sampai pagar. Sambil kubuka pintu, sempat kutanya, di mana mereka tinggal.

"Kami di lereng Gunung Geni. Saya bekerja bersama penduduk yang terancam kehilangan kehidupan mereka, karena rencana pembangunan taman nasional," jawab Jaya.

Lalu mereka pun berlalu. Sebelum angkot yang mereka tumpangi benar-benar berlalu, masih sempat kulihat lambaian tangan mungil anak Jaya padaku yang kubalas dengan lambaian pula.

Aku masih berdiri di pagar sekalipun kedua tamuku telah lenyap bersama angkot yang membawa mereka. Tiba-tiba aku teringat, sebentar lagi suamiku pulang. Dan dia tak boleh tahu apa yang terjadi. Jadi segera kututup pagar dan melangkah masuk. Membasuh muka lalu kembali duduk di depan tivi, sambil membuka-buka halaman koran Minggu.

Cerpen Susialine Adelia

Sang Pengembara

CINTA membuatku bodoh. Sebetulnya aku membenci keadaan ini. Sudah lama aku tidak jatuh cinta. Dan tiba-tiba makhluk gaib itu datang, menyergapku dari belakang, membantingku dengan kasar, jatuhlah aku ke pelaminan.

Aku seorang pengembara, tapi kini aku terjerat tali pernikahan. Bayangkan. Seorang pengembara terjerat tali pernikahan! Pernikahan tanpa janur kuning melengkung, tanpa kelapa gading menggelantung, tanpa setandan pisang raja, melati dironce-ronce, apalagi gending Kodok Ngorek, tidak ada sama sekali. Semua berlangsung tawar, tidak semerbak, abu-abu, persis mendung menggantung.

"Ini pernikahan resmi kan, Ma?" tanyaku kepada ibu mertuaku, setelah semua tamu pulang.

"Resmi…!" Alis matanya agak menaik. "Ada naib dan petugas KUA. Sah
menurut hukum dan agama. Emangnya kenapa?"

"Ya alhamdulillah, merasa bahagia saja…," jawabku. Aku memang seorang muallaf sejak Agustus 2003. Jadi maklum belum begitu paham.

Kami pun kembali terdiam. Ibu mertuaku asyik memisah-misahkan jepitan rambut yang tadi dipakai istriku. Ada yang besar ada yang kecil, dipisahkan satu dengan lainnya. Lalu disimpan di kotak kecil-kecil. Sambil menyulut rokok, aku sandarkan punggung ke tiang kayu penyangga rumah limasan ini. Tidak ada penutup atap. Gentingnya terlihat dari bawah. Lonjoran-lonjoran bambu tampak jelas.

Aku tercenung sejenak. Teringat mendiang ibuku yang meninggal November tahun lalu. Seandainya masih hidup, tentu ia bahagia sekali menyaksikan pernikahanku. Wasiat terakhir untukku hanya satu: ia ingin melihatku bahagia.

Rambutku terasa sedikit naik. Angin bukit batu yang kering, bersirobok masuk dari pintu depan. "Aku mengalami kebahagiaan hanya pada saat berdoa saja, Bu…," gumamku dalam batin.

Pernikahan, terus terang, memang membuatku bahagia. Meski perhelatannya berlangsung sangat sederhana. Pernikahan memaksaku berhenti mengembara. Puluhan tahun aku melintasi jalanan sepi dan gelap, berteman rindu dan harapan. Kakiku melangkah tanpa kepastian. Akhirnya aku dihentikan oleh kekuatan yang tidak pernah aku pahami. Jodoh membuatku berhenti melangkah.

Sebagai pengembara, sungguh tak pernah aku mempelajari apa itu hakikat perkawinan, rumah tangga bahagia, keluarga sakinah dan sebangsanya. Jadilah aku manusia paling bodoh. Mengalami ketergagapan budaya dalam berumah tangga. Sebuah ritual tradisional yang dijalankan turun temurun oleh seluruh umat manusia di dunia ini. Dan aku tidak mengenalinya sama sekali.

Dulu, aku merasa takut menghadapi pernikahan. Dalam bayanganku, semua keperluan rumah tangga harus dipersiapkan terlebih dahulu, seperti rumah, penghasilan tetap dan kendaraan. Sejak usia 18 tahun, sudah tiga kali aku membangun rumah, hanya untuk memahami elemen-elemen pernikahan itu. Rumah pertama, mungil tapi permanen, terpaksa aku jual karena pindah ke Surabaya. Dan calon istriku pergi jadi pramugari. Terbang, selamanya.

Rumah kedua, sebetulnya aku tidak begitu berminat membangunnya untuk tujuan berumah tangga, meski pacarku cintanya tak terbatas untukku. Kubangun di pinggir jalan besar, di sebuah desa yang tenang. Aku tinggal di situ setahun lamanya, sambil menyelesaikan buku keduaku tentang meditasi. Aku jual lagi. Pacarku ke Singapura bekerja di sana.

Setelah itu, aku tidak membangun rumah lagi. Tapi membelinya. Di daerah sentra pariwisata di Jogja. Sebuah rumah joglo tua dan angker. Kubuat galeri

kecil, lumayan juga. Lukisan-lukisan karyaku sempat dibeli turis Belanda dan Belgia. Akhirnya, karena jenuh dan ada peristiwa bom Bali, aku memutuskan

mengembara lagi. Rumah itu kujual secara tergesa-gesa.

Kini, aku punya istri yang setia tapi tidak punya rumah. Dulu aku punya rumah tapi hidup sendiri tanpa istri. He..he…he, ironis kan? Sementara ini istriku tinggal bersama mamanya. Ia memang anak yatim yang didera penderitaan hidup berkepanjangan.

Aku letakkan puntung rokok terakhirku ke asbak. Ibu mertuaku ternyata sudah sejak tadi beranjak dari duduknya. Lamunanku tentang peristiwa pernikahan ini, membuatku tidak memahami lingkungan sekitarku. Aku pun beranjak, mencari istriku di bilik sebelah, bersekat tripleks.

Istriku cantik sekali. Tercantik di dunia. Ia tampak sedang sibuk memberesi pakaian pengantinnya, bedaknya dan segala tetek bengek perlengkapan gaun pengantin. Bau parfum Drakkar Noir dari Calvin Klein masih tertinggal, di ujung hidungku. Tadi, seusai resepsi, kucium dia di tengkuknya. Jadi aroma parfumnya ikut juga. Memang, itu parfum cowok. Tapi mau bagaimana lagi? Adanya cuma itu. Aku membelinya di drugstore Bandara Juanda, Surabaya dua tahun lalu, sepulang dari Makassar.

Aku cium lagi tengkuknya. Ia tersenyum manja. Kebahagiaan terpancar di wajahnya. "Mau ngopi lagi, Mas?" tanyanya. Aku menggeleng, kudekap dia dari belakang, kemudian kita saling menempelkan pipi dan mematut-matut di depan cermin. Sepasang pengantin baru yang menikah diam-diam. Aku lihat matanya berbinar-binar. Ia bahagia.

Makna kebahagiaan bagiku hanyalah setetes warna yang lebih bersinar di antara warna-warna lain yang kusam. Setiap orang yang mampu meraih segala sesuatu yang diidam-idamkan, tentu merasa bahagia. Begitu pula aku. Seringkali aku merasa lelah mengembara dan ingin hidup layak seperti pada umumnya orang dengan menikah, berkeluarga, dan beranak pinak seperti yang disampaikan Allah kepada Nabi Ibrahim.

Dua minggu menjelang pernikahan, secara khusus memang aku memohon kepada kekuatan Yang Maha Dahsyat. Kekuatan paling purba, sebelum bumi dan tata surya ini tercipta. Di bawah pohon tua berumur ratusan tahun, di atas bukit kecil yang lembab, tepat tengah malam dan purnama penuh di angkasa, aku sampaikan permohonan keramatku itu. "Aku tidak butuh kekayaan, aku butuh istri dan sebuah keluarga," begitu doaku. Kun fayakun, terjadilah segala sesuatunya secepat kilat.

Pernikahanku juga berlangsung kilat. Memang, ketemunya sudah lama, dua tahun silam di acara pernikahan seorang artis dangdut top ibu kota. Belum ada getar-getar cinta kala itu. Pertemuan kedua terjadi di Jogja, di pinggir lapangan golf Hyatt Regency, Bogeys Teras. Biasa saja, semuanya berlangsung biasa. Cuma di tengah dentuman musik classic rock yang mengalun, dia mengatakan kepadaku setengah berbisik: "Kalau mau sama aku, harus serius…," katanya.

Langsung saja aku melamarnya malam itu juga. Ia pun mencium punggung tangan kananku. Resmilah kita mengikat janji. Sepuluh hari setelah malam "bertabur bintang" itu, terjadilah pernikahanku ini. Tanpa surat undangan dan wedding taart.

Perjalanan pernikahanku memang terkesan begitu indah. Tak ada cacat,
semua berjalan baik dan tenang. Ombaknya kecil, landai, dan bisa pasang layar sesuka hati. Langit biru tampak bersahabat di ujung cakrawala dan matahari bersinar ramah.

Kunikmati pernikahanku. Sedikit unik. Biasanya jok sebelah kemudiku selalu kosong. Paling, terisi dokumen pribadi dan beberapa bungkus rokok. Kini ada wanita cantik dengan rambut tergerai, tawa yang renyah dan sangat suka memakai aksen…gitu loh. "Liya gitu loh….," katanya menegaskan bahwa Liya beda dengan Lia.

Aku jadi mudah tertawa dibuatnya. Segala kata jadi berbunga-bunga, dan kita selalu mengurung diri di kamar berdua. Bercanda, berantem kecil-kecilan, saling merajuk dan tentu saja, bercinta.
"Aku pengin punya anak 9," kataku.
"Dua saja….Capek," jawabnya sambil menepuki perutnya.

Lalu kita berpelukan lagi. Seolah tidak ada cakrawala untuk luapan kegembiraan dan kebahagiaanku. Tidak ada yang membatasi. Tidak ada garis lurus yang memisahkan. Tidak seperti langit dan bumi yang dibelah di cakrawala. Segalanya serba los, bebas dan tak terbatas. Luar biasa. Aku selalu merindukan setiap menitnya.

Tawa ceria dan segala canda itu ternyata tidak berumur lama. Begitu cepat perginya. Sama cepatnya dengan proses pernikahanku. Kebahagiaan, agaknya, tidak pernah berpihak kepadaku. Segala sesuatunya berbalik 180 derajat. Sirna seketika. Berubah serba hitam. Galau. Gelap. Bergemuruh. Menghentak-hentak dan menyambar-nyambar. Setiap kata jadi bersayap-sayap. Salah paham muncul silih berganti. Kecemburuan, kecurigaan, dan pembicaraan-pembicaraan yang penuh teka-teki pun berebut mengganggu.

Salah ucap sedikit, menjelma jadi bara api. Berkilat-kilat. Aku sampai tidak sempat berdoa karena pikiranku tersita sepenuhnya untuk istriku. Kelakuannya berubah-ubah, sulit dipahami.
"Aku ingin sendiri," katanya pelan, tapi kurasakan seperti halilintar.
Menggelegar.
"Kita ini menikah, bukan pacaran. Ini Suro…harus serba hati-hati," kataku
mengingatkan.

"Hasyaahhhh….." Mukanya jadi cemberut dan bibirnya jadi tambah lancip.
Rambutnya yang dikucir bergoyang-goyang. Meski marah, kuakui, dia tetap saja menggemaskan.

Sambil menjentikkan abu rokok ke asbak, ia pun berargumentasi tentang pernak-pernik kegalauan perasaannya. Dari soal sepele sampai besar. "Aku tuh sukanya mobil-mobilan dan korek api, bukan bunga…Sabunku juga bukan yang itu, shamponya yang ini….." Mimik mukanya agak berkerut-kerut, ketika aku bawakan setangkai red rose yang dikemas plastik cantik.

Aku berusaha menyelami segala sesuatunya dengan hati-hati. Termasuk soal rumah, yang berkali-kali dilihat masih kurang cocok di hati. Kadang jengkel juga. Namun pernikahan tidak boleh terganggu dengan perasaan-perasaan yang tidak berguna seperti itu. Pernah aku berpikir kenapa harus begitu tergesa-gesa menikah?

"Aku sudah lelah dan jenuh dengan kehidupanku selama ini. Jadi aku
memutuskan untuk cepat menikah," katanya ketika itu.

Argumentasinya itu membuatku merasa menemukan wanita yang sudah matang. Masa lalu yang carut marut memang harus diakhiri ketika pernikahan terjadi. Ketika baju pengantin dikenakan dan akad nikah ditandatangani, maka masa lalu berakhirlah di situ. Pernikahan adalah sebuah lembaran baru yang serba bersih, sehingga kita bisa menuliskan apa pun di sana sesuka hati, tanpa harus dihantui lembaran-lembaran hitam masa lalu. Kisahnya harus dibuat sesuai tata nilai yang berlaku di masyarakat. Ditata seperti mengatur sebuah taman bunga. Agar segalanya serba semerbak dan mewangi. Sampai akhirnya lembaran pamungkasnya ditutup sendiri oleh Sang Khaliq. Pemilik hak atas seluruh hukum kehidupan. Ah, lumayan juga teoriku ini.

"Hanya kematian yang bisa memisahkan sepasang pengantin," kataku kepadanya. Ia tercenung beberapa jurus. Matanya yang indah terdiam beberapa saat. Lalu bola matanya berubah jadi abu-abu. Ia pun meledak-ledak lagi. Ada bau parfum yang berbeda dari tubuhnya, ketika ia berdiri sambil bersungut-sungut. Aku terhenyak. Berangkat kantor tadi pagi, memang ia sudah terlihat kusut. Tapi aku tidak memikirkannya terlalu dalam. Sewaktu turun mobil, ia hampir lupa mencium tanganku.

"Aku suamimu bukan?" tanyaku pelan, sambil kusodorkan tangan kananku.
Ia pun menciumnya. "Nanti dijemput jam berapa?" tanyaku lagi.
"Jam empat sore. Mundur satu jam," jawabnya, sambil bergegas turun.

Prahara itu pun dimulai. Bau parfum yang berbeda sepulang kantor, menjadi puncak dari seluruh masalah yang bertumpuk. Padahal sepulang kantor tadi kami sempat melihat sekali lagi rumah yang akan kami tempati.

"Besok aku mau naik bis kota saja. Nggak usah diantar jemput lagi," ujarnya sambil membanting tubuhnya ke kasur. Ia memunggungiku. Tampak jengkel.

Aku berharap keadaan itu hanya sementara saja. Seperti permasalahan-permasalahan kecil yang terjadi di hari-hari kemarin. Ternyata tidak. Besok-besoknya lagi, tetap sama. Terus-menerus begitu. Sehari dua hari. Seminggu dua minggu. Seluruh saluran komunikasi ditutup. Ia pun ganti nomor hand phone. Aku takut membayangkan kenyataan yang bisa membuatku bersedih.

"Ini hanya sementara…," katanya ketika aku nekat menemuinya, di siang yang terik. "Sementara…," itulah kata-kata yang aku jadikan pegangan. Meski berat dan dipenuhi ribuan teka-teki, aku berusaha meyakini janjinya itu.

Kehidupanku pun limbung. Aku kembali melangkah tanpa kepastian, tak ada teman selain rindu dan harapan. Keinginanku untuk menjalani kehidupan masa lalu kembali menggelegak lagi. Mengembara. Ya, mengembara. Akulah, pengembara itu!

Aku harus kembali berteman dengan alam, dengan orang-orang yang hidup
sederhana di ujung-ujung desa, di pegunungan dan di pinggir-pinggir pantai. Bertemu orang-orang yang tulus mencintaiku, menerimaku dengan tangan terbuka, tanpa rasa curiga, saling pengertian dan tidak mengkhianati. Aku merasa bahagia. Apalagi kalau mereka berduyun-duyun di belakangku, mengikutiku berdoa.

"Tapi ya Allah, apakah Engkau tidak mengizinkan aku memiliki sebuah keluarga, keturunan, dan generasi pewaris?" gumamku ketika aku datang lagi ke pohon besar di atas bukit yang lembab itu.

Selang beberapa saat, tiba-tiba melodi Songete mengalun dari hand phoneku. Debur ombak Laut Selatan hampir membuatku tidak mendengarnya. Ada SMS masuk, dadaku berdebar.

"Jeleeeeeeeeeeeeeek…where are u? Aku kangen tho sama Jelek. Ke sini tak buatin kopi…..!" begitu bunyi SMS-nya. Dari istriku.
Ah, ternyata itu SMS yang pending sejak empat minggu lalu.

Cerpen: Antoni

Terbakar

Apakah yang unik dikisahkan tentang Bentas Babay? Arus sungai yang berubah dari sebuah dataran tanjung yang berlekuk ke selatan, dan tanjung yang memanjang itu digali oleh Babay --seorang pedagang yang selalu memintas di tempat itu dengan perahu berdayung dua. Karena ingin memperpendek jarak, Babay menggali tanjung curam itu. Oleh aliran air sungai yang deras selama musim banjir, lama-kelamaan tanjung itu putus dan membentuk sungai baru. Bagian ke hilir sungai itu membentuk sebuah teluk, yang pada arus air dalam, teluk itu memusar dengan ulak yang masuk ke dalam lingkaran arus yang deras. Ngeri sekali tampaknya.

Karena terusan yang berubah jadi sungai itu digali Babay, hingga kini orang menyebutnya Bentas Babay, yang maknanya bertemunya sungai baru akibat putusnya sebuah dataran tanjung.

Tapi penting apakah hingga ia perlu diceritakan? Adakah di tempat itu pernah terjadi sesuatu yang istimewa seperti pertempuran sengit saat pendaratan tentara Sekutu di Normandia? Atau ada pohon berhantu seperti beringin tua dan meninggalkan kematian dari zaman ke zaman seperti kelaparan dan pembantaian yang mengerikan? Atau ada hal-hal lainnya yang mengandung kisah seperti perselingkuhan dan marabencana?

Kukatakan dengan cepat bahwa kisah itu adalah bencana!

Tapi bukankah marabencana selalu ada di setiap waktu di setiap daerah?

Perlu apakah dikisahkan agar diketahui orang lain?

Kukatakan dengan segera bahwa kisah marabencana itu dimulai dari rasa suka yang berlimpah! Seperti Jayakatwang yang berpesta pora setelah mengalahkan Kertanegara, lalu tumpas karena diserang tentara Tartar yang diarahkan oleh Raden Wijaya?

Tapi cerita yang akan kukisahkan ini bukan sebuah peperangan. Tidak juga tentang hantu atau demit, tapi sebuah kejadian yang menimpa empat pemuda yang baru mengenal jatuh cinta!

Buru-buru kukatakan bahwa bentuk sungai yang akhirnya menjadi Bentas Babay merupakan sebuah tanjung yang kemudian membentuk rantau yang panjang dan di bagian hilir tanah genting membentuk teluk luas yang airnya selalu menggenang hampir seperti danau. Hutan di bagian daratan teluk yang dinamai Dataran Ruratn dibuka oleh Mongkur menjadi ladang yang luas. Namun musim yang kadang tak menentu karena pengaruh El-Nino dan penebangan hutan oleh pengusaha HPH membuat banjir sering datang tidak tepat waktu dan menghancurkan padi yang baru mulai berbulir. Ikan-ikan berpesta-pora di ladang yang luas itu, dan setelah habis banjir yang tertinggal hanya dataran huma yang dipenuhi lumpur, karena padi dan palawija binasa dihanyutkan arus air yang deras. Karena sering terlanda paceklik, untuk menyambung hidup, Mongkur kadang kala bekerja membantu Babay menggali terusan di tanjung itu.

Babay selalu istirahat dan menambatkan perahunya di jamban Mongkur jika telah tiba di kawasan itu. Entah beberapa kali pedagang itu sudah ikut menumpang tidur di rakit jamban itu. Namun di suatu ketika terjadi kehebohan karena Mongkur menemukan pembantu pendayung perahu Babay meniduri istrinya dan lelaki peladang itu tak beri ampun, ia menetak lelaher lelaki muda itu. Akibatnya, Mongkur sendiri digiring ke dalam tahanan, sementara Babay harus menghentikan pekerjaannya menggali terusan untuk memotong genting tanah tanjung di situ karena harus menjadi saksi perbuatan asusila yang berujung pada tragedi pembunuhan itu.

Beberapa tahun kemudian alur terusan yang dibuat Babay telah berubah menjadi sungai, namun rumah Mongkur ditemukan sudah runtuh karena tak ada yang memelihara, dan di tempat itu menjadi tempat yang mengerikan karena tak ada orang yang berani berdiam di situ, karena tanahnya pernah dialiri darah seorang peselingkuh. Kata orang, kadang di suatu malam, jika sedang terjadi bulan mati, terdengar suara teriakan dan lolongan minta ampun, seperti suara seorang lelaki. Kadang ada tawa dan tangis saling berbarengan. Orang-orang yang memintas di tempat itu di malam hari selalu merasa ngeri, dan mereka cepat-cepat mendayung sampan agar segera lewat ke hulu atau ke hilir. Ketakutan itu berakhir, setelah orang tak lagi menggunakan pengayuh, tapi menggunakan ketinting, sehingga teriakan atau suara tangis roh kematian tak terdengar, karena gemuruh kerasnya suara mesin!

Entah cerita itu benar atau hanya dikarang oleh ahli pengisah lisan, tak ada yang tahu. Tak ada juga yang tahu apakah memang ada orang bernama Babay atau orang bernama Mongkur. Semua mulut menutur ulang cerita itu seakan-akan mereka sendiri yang mengalaminya. Dengan begitu, hingga kini cerita itu masih dikisahkan oleh generasi yang berada di kampung-kampung di sekitar situ. Apalagi setelah pohon puti yang tinggi roboh ke air di teluk itu, karena tebing sungai yang curam longsor, orang-orang merasa lebih ngeri lagi, terutama karena salah seorang warga menemukan ular raksasa sebesar pohon kelapa yang pernah memangsa manusia di teluk itu --dan saat itu sedang kekenyangan menelan seekor rusa-- mati terimpit pohon puti yang roboh. Puncak dari segala kejadian itu adalah jatuhnya Jalikng dari dahan beringin yang melayah ke arah teluk. Lelaki itu memerangkap burung punai yang memakan buah beringin yang sudah matang dengan getah pulut di subuh hari.
Entah angin kencang atau kakinya tergelincir, Jalikng tercebur ke tengah teluk, dan di bawahnya ternyata telah menanti nganga mulut buaya yang lapar.

Hanya pawang Molur yang dapat menyeret buaya nahas yang memangsa Jalikng. Beberapa bagian tubuh lelaki beristri tiga itu ditemukan di dalam perut buaya.

Sejak itu, warga terus-menerus menganggap kawasan itu angker. Namun ada juga orang yang memanfaatkan keangkeran itu, karena pada waktu-waktu tertentu ada buaya yang bertelur di banir-banir pohon dahuq. Secara diam-diam orang itu mengambil telur-telur buaya itu, dan bahkan ada orang yang memasang jerat buaya, dan secara diam-diam menjual kulit buaya yang mahal harganya itu ke Babah Lie Auw Chu di Muara Pahu.

Bagi yang mujur, di musim kemarau di pasir pantai di utara teluk itu kadang bersarang puluhan penyu dengan ratusan telur di setiap lubangnya. Tapi menurut cerita, puluhan tahun lalu orang berhenti membantai penyu dan buaya karena salah seorang yang suka diam-diam mengambil telur-telur dan menjerat buaya itu dimangsa buaya badas yang ganas.

Entah mengapa, lingkungan teluk itu selalu disertai cerita yang menyeramkan. Kalau bukan cerita tentang kematian atau duka cita, kisahnya selalu berujung pada tragedi kesedihan.

Lalu tentang empat pemuda yang mulai jatuh cinta? Kisahnya sederhana, bermula dari waktu vakansi. Empat pemuda yang menghabiskan waktu seselesai ujian akhir SMA, pergi berdagang ke kampung-kampung di udik Sungai Berasan. Entah memang sudah sampai waktunya untuk bertemu dengan kekasih masing-masing, entah memang hanya suatu kebetulan, saat keempat pemuda itu menghilir dengan berkayuh cepat di gelap bulan mati, tepat saat memintas di Bentas Babay itu, haluan perahu membentur tunggul yang mencuat di tengah sungai. Perahu yang sarat muatan hasil dagangan seperti padi, beras, ayam, dan lima ekor kambing segera oleng oleh kejutan arus dan ulak. Dengan tak terduga dari arah hulu meluncur sebuah ketinting dan segera menggepak perahu yang sudah oleng ke arah kiri. Baik perahu maupun ketinting sama-sama tenggelam bersama muatannya.

Tiga pemuda yang berdagang dalam masa vakansi tenggelam karena terbentur haluan ketinting. Tiga pemudi bersama motoris ketinting juga tenggelam di dalam ulak air yang deras di tengah teluk yang dalam. Hanya satu pemuda dan satu pemudi yang selamat, dan dari mereka itulah cerita ini ditulis kembali.

Tabrakan itu sebenarnya terjadi karena masing-masing mereka telah berjanji bertemu hari itu di Kampung Rinding, sehingga empat gadis harus kembali dari Kampung Sembuan di udik Sungai Nyuatan dan empat pemuda harus menghilir dengan cepat dari pehuluan Sungai Berasan.

Cinta memang mengatasi segala-galanya. Tapi merabencana kemudian mengambil seluruh rencana mereka yang telah tiada.

Peristiwa selalu tak terduga!

***

Empat puluh tahun lalu peristiwa tabrakan Bentas Babay itu terjadi. Kawasan di Dataran Ruratn yang berada di bagian atas teluk Bentas Babay itu telah berubah seperti disulap oleh teknologi ekologi. Hutannya bukan hutan terlantar karena ditinggalkan Mongkur setelah membunuh pembantu Babay, tapi telah berubah menjadi hutan tanaman industri pohon ulin alias kayu besi. Di arah bagian bantaran sungai berdiri mess para pekerja dan rumah mewah pemilik HTI di dalam kompleks yang elite.

"Kasihan tiga pasang kawan kita tak sempat mengecap cita-cita membangun kongsian HTI," si wanita berkata kepada lelaki yang ada di depannya. "Kalau tak ada nahas tunggul Bentas Babay ini mereka masih ada bersama kita."

"Tapi kita telah tebus cita-cita itu, Ningsih. Bukankah nama mereka juga diabadikan di dalam bagian-bagian hutan kayu besi ini?"

"Hanya nama, Syar. Mereka tidak menikmati langsung. Bukankah sejak kecil kita telah bersepakat akan maju secara bersama-sama?"

"Tapi peristiwa mengambil segala yang baik dari kita. Syukur masih ada pasangan kita yang hidup dari peristiwa teluk tunggul kayu Bentas Babay itu? Sehingga kita dapat melaksanakan amanat bersama?"

Lebih 20.000 hektare HTI kayu besi yang berusia lebih dari dua puluh lima tahun. Ribuan pohonnya ada yang sudah lebih besar dari badan orang dewasa. Pohon-pohon langka itu membuat pemiliknya sampai mendapat anugerah dari sejumlah institusi di luar negeri sebagai penyelamat lingkungan dengan menanam pohon langka. Kalau bukan HTI, mungkin pemiliknya mendapat anugerah Kalpataru.

Lelaki dan wanita yang berbicara itu merupakan pemilik HTI kayu besi. Mata mereka tiba-tiba dikejutkan oleh permainan akrobatik pesawat tempur di udara.

"Apakah ada perang di kawasan kita? Apa yang diperangi di sini?" si lelaki terus menatap televisi. "Bukankah hanya pemulihan keamanan dari GAM di Aceh. Adakah yang direbut lainnya dari kita?"

"Itukah Sukhoi yang diributkan?"

"Bukan. Bukan Sukhoi. Bukankah Sukhoi sudah diterima beberapa waktu lalu?"

"Apa pesawat yang akan membomi Irak lagi?"

"Tak mungkin membom Irak. Bukankah perang frontal sudah usai. Lagi, tak mungkin persiapan pesawat tempurnya hanya empat?"

Mata mereka melihat ada pesawat lainnya yang seperti menguntit formasi empat pesawat udara yang mengadakan akrobatik udara. Lama kemudian baru mereka mendengar penjelasan bahwa ada pesawat tempur Amerika melakukan aksi selama dua jam di udara di atas Pulau Bawean. Pesawat F18 milik Amerika yang mengawal kapal-kapal negeri adidaya itu melewati perairan Indonesia. Pihak Angkatan Udara Indonesia menangkap manuver terlalu lama dari izin perlintasan dan kemudian mengirim F16. Hampir saja terjadi sesuatu yang tak diingini, karena pesawat yang mengintai hampir ditembak oleh mereka yang memintas.

"Terlalu banyak peristiwa akhir-akhir ini," si lelaki menatap istrinya yang duduk tenang menatap televisi. "Bahkan perusahaan HTI kita ini juga diungkit-ungkit para provokator."

"Katamu ada yang malah mengancam," istrinya menimpali. "Ingin membakar dan memusnahkan kalau tuntutan ganti rugi lahan tak dilakukan."

"Reformasi memang maksudnya keterbukaan. Lebih dua puluh lima tahun semuanya sudah dibereskan," sang suami menatap istrinya. "Tapi kebablasan, sekarang sering membuat kesusahan dan kerugian!"

"Katamu anak cucu pemilik tanah yang menuntut. Terutama mereka yang sudah kematian ayah atau kakek moyang. Mereka katakan belum menerima penggantian."

"Buktinya ada," sang suami masih menatap televisi. "Mungkin mereka yang menuntut itu belum lahir saat dilakukan pembayaran. Tak mungkin kita membayar berkali-kali."

"Kadang kertas dan kata-kata di atasnya tak mempan dalam era orang berebut kekuasaan seperti sekarang ini," sang istri yang berkata. "Hukum sudah begitu rendahnya terinjak-injak!"

"Karena orang maling ayam lebih dihargai hukum dibandingkan koruptor triliunan."

"Karena pemaling ayam orang miskin, koruptor menggunakan kekuatan uang."

"Itu masalah moral," sang suami menatap awan. "Rendahnya derajat kemanusiaan membawa dampak buruk di seluruh sendi kehidupan!"

"Seharusnya uang dicari tapi tak menguasai tubuh dan jiwa. Uang dikuasai!"

"Seharusnya begitu."

Serentak suami istri itu memandang ke arah langit. Ada titik dan deruan menandakan bunyi di bentangan cakrawala.

"Adakah itu pesawat pemerintah kabupaten pemekaran yang baru dibeli dibawa ke Lapangan Terbang Melalan?" sang suami menunjuk ke arah noktah. "Masyarakat mulai akan menikmati kemudahan."

"Paling-paling yang menggunakan para pejabat, pimpinan partai politik, dan kaum berada. Siapa rakyat jelata mampu membeli tiket sejuta pergi pulang ke Balikpapan?"

"Tapi sudah bagus ada ide dan realisasi pesawat pemutus isolasi," sang sumi menimpali. "Daripada selama ini naik kapal air dan memintas jalan berlumpur sedalam pinggang!"

"Nenek-moyang dulu-dulunya bisa hidup layak. Mengapa harus dipersoalkan?"

"Lain zamannya, Bu."

"Tapi lihat di berbagai kampung. Rumah kumuh beratap daun masih merajalela. Di pehuluan beras seharga lima ribu. Puluhan tahun merdeka tapi mengapa belum juga merdeka?"

"Pesawat itu tanda merdeka."

"Pesawat barang mewah. Lalu mengapa kebutuhan sehari-hari harganya seperti barang mewah?"

"Kalau penghasilan tinggi, tak ada harga barang yang tinggi."

"Nyatanya penghasilan masyarakat sangat rendah. Bukankah kau sendiri ikuti upah minimum daerah Rp 572.562,00 per bulan? Cukupkah untuk membiayai keluarga beranak tiga?"

"Perusahaan kita bukan lembaga sosial."

Tiba-tiba telinga suami istri itu dikejutkan oleh suara gelegar dan ledakan yang hebat ke arah tengah onderneming kayu besi. Tak lama kemudian mata mereka menangkap asap yang tebal naik ke atas.

Beberapa orang yang ada di base camp itu terdengar berteriak. "Pesawat pemda yang baru dibeli jatuh di hutan kayu besi. Pesawat yang baru dibeli jatuh terbakar di hutan ulin HTI kita."

Lelaki dan wanita itu berdiri terperanjat. Mata mereka nyalang memandang asap api dari hutan kekayaan. Tak lama kemudian terdengar deru motor dan mobil dan gegas penjaga hutan di bagian utara. Mereka segera melapor bahwa ada pesawat jatuh dan hutan HTI terbakar.

Lidah api disertai asap tebal makin meluas karena angin makin santer. Lelaki pemilik onderneming itu merasa kepalanya berdenyut hebat. Bukankah para operator alat-alat berat dan regu pemadam kebakaran sedang cuti? Sejumlah mereka pulang ke Jawa dan Sumatera!

Masih dalam terpana, lelaki pemilik HTI, api terus menyebar dengan cepat karena tiga bulan terakhir tak setetes pun hujan turun dari langit. Ke mana menyewa pesawat untuk memadamkan api? Siapa bisa mengoperasikan alat-alat berat guna melokalisasi api? Sementara api terus mengojah langit!

"Enam teman kita mati. Usaha kita gagal, Pa," si wanita terdengar bersuara memelas. "Mengapa pemda harus beli pesawat rongsokan sehingga jatuh dan mencelakakan usaha HTI kita. Ke mana Papa mencari dana menutup kerugian dari kebangkrutan? Bibit kayu gaharu yang disemai di utara juga dilalap api?"

Di base camp orang ribut berlarian berusaha menyelamatkan diri karena lidah api dari hutan kayu besi makin mendekat menjadi-jadi.

"Lari! Kalau tak mau mati, lari cepat ke sungai. Lari ke kampung selamatkan diri! Ayo! Lari cepat!"

Api makin mendekat ke arah base camp dan hampir menjilat rumah mewah milik pengusaha HTI di lingkungan base camp.

Suara itu seperti litani bersahut-sahutan makin keras. "Cepat kita ngungsi! Tinggalkan kawasan Bentas Babay. Cepat kita selamatkan diri! Ayo! Lekas kalau tak mau mati dilalap api!"

Lelaki pemilik HTI tampak bengong menatap asap hitam dan lidah api yang menjolok langit. Dari mulutnya terdengar suara seperti geraman. "Kejayaan dan kemaslahatan tiba-tiba mengubah nasib menjadi kere gombal. Mengapa pemkab harus membeli pesawat bekas yang mencelakakan?"

Sebagian besar lahan HTI telah dilalap api. Cahaya merah menyebar ke segala arah! "Masyarakat dan provokator dapat diredam dari kebablasan reformasi. Tapi mengapa justru pesawat yang membakar HTI?!" suara lelaki itu terdengar lemah sambil matanya terus menatap hutan yang musnah! "Mengapa harus membeli pesawat yang tak diproduksi lagi. Dari Kanada pula, bukannya membeli milik sendiri dari PT Dirgantara Indonesia?" suaranya bagaikan menolog yang sumbang.

Deru api makin menjadi-jadi!

Cerpen Korrie Layun Rampan